Panjangnya malam menyisakan mimpi-mimpi kecil yang selalu bergulir pada setiap alunan tidurku. Kembali tercuat seraut wajah kecil yang tersenyum di bawah kemilau senja tribun tenis kampus. Ia berputar tatkala dedaunan kering berterbangan ke arah kami. Aku enggan mengikuti alunan tarian yang ia ciptaan, tetapi aku dipaksa untuk ikut. Kami berputar di kala itu, mentari sendu menjadi saksinya. Ucapan cinta tertuang dalam bisik-bisik kecil alur bibirnya.
Apa salahku? Apakah aku terlalu lama untuk menjadi seekor kumbang dewasa yang akan hinggap pada bunganya? Setiap kumbang pun memiliki alur terbangnya masing-masing, sebagian mereka mungkin tertangkap oleh reptil berlidah panjang atau pun berputar seperti serangga bodoh di sekitar cahaya lampu, aku rasa begitu pula manusia. Tidak ada kata dalam kepastian, kepastian hanya datang pada kemutlakan yang tidak pasti.
Cinta telah terbenam jauh di dalam kuburan yang aku ciptakan sendiri. Liangnya sudah aku gali tatkala pertama kali memandang perangkap mata indahnya yang berkilau. Semakin sempurna dalamnya ketika aku pupuk menjadi cinta. Hari-hari yang lewati hanya semakin mendekatkan aku pada tepian. Momen-momen pun turut menambah gamangnya ketika aku melihat ke bawah. Ia menjatuhkan aku seketika, hancur terbuai tidak bersisa.
Aku terbangun oleh suara James yang bernapas tepat di sampingku. Mentari pagi menyelinap pada daun pepohonan hutan. Terasa sejuk udara yang aku hirup, sedikit lembab oleh embun yang menggupal pada sela-sela pohon. Kepalaku pusing tatkala berusaha untuk duduk. Sisa mabuk tadi malam masih terasa, terutama pada lambungku yang begitu mual.
Entah kenapa aku terbangun di bangku panjang belakang rumah. Seingatku, tadi malam aku sedang menyiapkan air panas untuk dua wanita gila yang merepotkan. Rhea tidak henti-hentinya memarahi diriku yang telah mengajaknya ke pesta itu, hingga ada seseorang yang tidak diundang telah datang ke rumahnya. Memang, Rhea begitu sensitif jika ada orang asing yang mengunjungi rumahnya ini. Berlain hal dengan Merry, ia berulang kali masuk kamar mandi untuk muntah. Aku pun kerepotan untuk membopongnya ke sana.
Aku menatap Rhea yang sedang bertegak pinggan menghadap Merry.
"Cepat pulang, aku tidak mau kau ada di sini."
Dua wanita itu duduk berseberangan di meja makan. Tengah-tengah mereka telah tersajikan sesisir pisang dan seteko susu putih. Suara ketukan jari terdengar dari arah Rhea seperti orang tidak sabaran, sementara itu Merry duduk santai sembari memutar apel warna merah. Wajah sayu tampak jelas di masing-masing wajah mereka. Dua orang yang belum mandi ini malah mengobarkan pertengkaran sepagi ini.
"Kau kira aku bisa pulang dengan sendirinya? Aku juga tidak punya uang untuk naik kendaraan umum," balasnya dengan Santai.
"Itu masalahmu, bukan masalahku! Setengah jam lagi kau belum pulang, aku biarkan James mengejarmu!" Rhea melipat tangannya.
"Aku juga punya Palpov, anjingmu kalah besar untuk berkelahi dengannya."
"Sehebat apa anjing manjamu itu? Ia bahkan tidak bertahan tiga hari jika ditinggalkan sendirian!"
Aku mengetuk meja tiga kali. Kepalaku bertambah pusing oleh perdebatan mereka ini.
"Kita sama-sama mabuk tadi malam dan tidak tahu apa yang terjadi. Sekarang aku tanya, di mana ponselku?!"
Mereka menarik napas bersamaan.
"Tanyakan pada wanita itu," tunjuk Rhea.
Aku menoleh pada Merry.
"Jatuh di dalam bak mandi waktu aku mau muntah." Ia melihat ke sekitar. "Rumah macam apa ini tidak ada lampu sama sekali!"
"Malah menyalahkan rumahku! Dasar anak set⸺"