Manusia mana yang menyimpan buku-buku filsafat di tengah hutan, jika ia bukan seorang kutu buku sejati dan penyendiri untuk mencari maknanya sendiri. Aku sempat tidak mempercayai jika buku-buku di rumah Rhea merupakan milik ayahnya sendiri⸺meskipun sebagian dari buku tersebut merupakan koleksi dari Rhea⸺maka pengakuan Merry semakin membuatku percaya. Rhea bertutur jika dirinya merupakan keturunan dari dosen filsafat di kampus. Akhiran Zarathustra semakin memperkuat hipotesis bahwa ia anak dari Profesor Nurman Zarathustra.
Rasa penasaran membawaku masuk ke dalam penelusuran di perpustakaan. Keesokan harinya setelah bimbingan skripsi, aku dan Merry mencari buku-buku milik Profesor Zarathustra tersebut. Tiga buku dipinjam dari masing-masing kami, lalu membawanya ke suatu tempat untuk menelusuri siapa gerangan beliau tersebut. Tepian mercusuar menjadi tempat bagi kami untuk menjejerkan buku-buku filsafat tersebut. Lembar demi lembar kami buka dan Merry catat dalam sebuah catatan kecil.
Kami memulainya dari sejarah pertama terbentuknya kampus.
Satu nama kami catat sebagai permulaan, yaitu Malik Ibrahim Zarathustra. Beliau merupakan seorang pemikir dari Sumatera Barat. Beliau ikut berkelana bersama Tan Malaka untuk melawan penjajah. Kedekatan beliau dengan Tan Malaka turut menumbuhkan pola pikir sosialis yang kental. Mereka sering menerbitkan tulisan-tulisan di surat kabar untuk melawan penjajah dan mengkiritik pemimpin bangsa pada saat itu yang cenderung berunding dengan penjajah untuk mengambil keputusan, seharusnya mereka tidak berunding untuk kepentingan bangsa.
Ia memiliki satu orang anak yang bernama Ali Zarathustra. Ali Zarathustra merasa perlawanan tidak hanya cukup melalui tulisan. Ia merasa kepentingan ayahnya merupakan kepentingannya juga. Berjuang pasukan kemiliteran menjadi pilihannya untuk mengusir para pencuri rempah dan keringat bangsa. Ia berhasil membawa semangat ayahnya dengan pangkat jenderal bintang sebagai tanda jasa terakhir.
Sebagai seorang militer pangkat tinggi, ia memiliki cukup kekayaan untuk dihibahkan sebagai usaha terakhir demi kepentingan bangsa. Tanah yang luas ia gunakan sebagai universitas tempat bersekolah bagi anak-anak muda pada saat itu. Anaknya yang bernama Yahya Ibrahim Zarathustra menjadi rektor pertamanya setelah ia pulang dari Belanda untuk menuntut ilmu. Hanya ada dua fakultas pada saat itu, ilmu sosial dan ilmu sains. Ia berharap besar kepada anaknya yang bersekolah di Uni Soviet untuk bisa memimpin fakultas ilmu sosial lebih maju lagi. Maka, ia meminta Nurman Zarathustra agar pulang setelah selesai dari pendidikannya
Aku dan Merry saling memandang ketika menyadari bahwasanya Rhea juga merupakan cucu dari rektor pertama. Sementara aku sibuk membacakan narasi tulisan, Merry berkutat dengan catatannya.
Nurman telah menjadi seorang dekan di umurnya yang masih muda. Pemikiran sosial yang ia bawa dari Uni Soviet sangat kental ketika ia membuat kebijakan di fakultas sosial. Ia sering berdebat dengan ayahnya mengenai biaya kuliah untuk orang fakir miskin dan anak yatim. Ia sering memasukkan mahasiswa gelap yang tidak mampu membayar kuliah dikarenakan ia tidak bisa mendaftar jika tanpa biaya.
Pemikiran sosialis dari Nurman sering lalu-lalang di surat kabar dan radio-radio. Ia banyak menginspirasi mahasiswanya untuk tetap berada dalam kesetaraan dan menghilangkan sifat-sifat kapitalis di dalam diri. Menurutnya, kapitalisme merupakan sifat-sifat dominasi yang masih tertinggal dalam sejarah evolusi umat manusia, yang pada akhirnya menghancurkan manusia itu sendiri.
Tulisan dari Profesor Nurma Zarathustra meninggalkan buah tangan bagi para anak muda. Kritikan semakin gencar dilakukan kepada penguasa orde baru yang tumbuh dengan korupsi dan nepotisme. Meskipun tragedi 1965 sudah usai, tetapi pemberontakan berupa pemikiran sering terjadi dengan dibentuknya faksi-faksi sosialis pada saat itu. Mereka hanya memperjuangkan kesetaraan dan kesejehteraan tanpa membuang Pancasila pada diri mereka. Sejak saat itu, Profesor Nurman Zarathustra menjadi incaran penguasa dan gagal dalam bursa pemilihan rektor pada saat itu. Ia dipandang buruk oleh kampusnya sendiri.
Puncaknya ialah pada tahun 1997, ia tertangkap sebagai tahanan politik Oder Baru dengan tuduhan menyebarkan pemahaman Marxisme dan komunisme. Banyak para kaum intelektual yang mengkritik kebijakan rezim dan mengatakan Profesor Nurman Zarathustra sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pemahaman komunisme. Ia hanya pejuang kesetaraan dan kesejahteraan sosial yang tertuang di dalam Pancasila itu sendiri. Namun, mereka hanya berujung dibungkam dan turut menjadi tahanan politik.
Buku-buku Profesor Zarathustra dilarang beredar setelah penangkapan. Buku yang ada saat ini pun berupa arsipan lama yang dilarang untuk beredar di masyarakat.
"Ia bukan meninggal, tetapi menjadi tahanan politik. Ia sudah keluar beberapa tahun setelah revolusi 1998, setelah itu ia menghilang. Buktinya, tahun 2008 masih ada tulisan dengan nama pena Zarathustra, tetapi ditutupi oleh penguasa. Petinggi politik menduga Profesor Zarathustra sudah menulis kembali saat itu," ucap Merry.