Senja menyimpan rasanya sendiri di tepian pantai barat kota. Pasir lembut berdesir tatkala bergesekan dengan ujung garis air yang menyeruak masuk ke daratan. Ombak memancing kepiting-kepiting kecil untuk masuk ke dalam. Aku melebarkan tanganku, angin menyapanya dengan lambai ayunan yang menggerakkan rambutku. Manik-manik kerrang hiasan jendela rumah Victor bergerincing, menambah suasana santai saat sore ini.
"Profesor Nurman ...." Victor membolak-balikkan buku yang sedang ia baca di atas pasir pantai.
Sementara ia duduk di hadapan cahaya cerah mentari dan birunya pantai barat, aku terpaku melihat rumah kayu sederhana yang ia bangun tepat di bawah tebing batu. Rumah itu terdiri atas dua lantai dengan balkon depan di atasnya. Tiang kayu tampak tegas, ia menyusun kerangka yang kokoh agar tidak rubuh ketika badai laut melanda. Rasaku ia sengaja tidak memberi cat pada kayu tersebut, tetapi dibiarkan alami hingga terciptalah estetika natural yang khas. Merry tidak ikut kami berdua di sini, ia berada di balkon lantai dua sembari memegangi ujung ayunan kain yang tergantung di antara dua tiang kayu. Ia tersenyum padaku, tetapi asrinya bagian depan rumah terlalu menarik perhatianku.
Kepalaku menoleh pada pria itu. "Bagaimana kau bisa tinggal di tepian seperti ini?"
"Tidak ada yang memunguti pajak dan aku lebih banyak menerima sinar matahari dan udara yang sehat. Aku lebih bebas tanpa kekangan." Ia menoleh padaku. "Dari mana kau kenal wanita itu?"
"Emangnya kenapa?"
Ia menggeleng. "Tidak ada, parasnya cantik."
"Aku rasa wajah kalian mirip." Cukup lama aku memandangi Merry dari kejauhan, hingga berpindah kembali kepada Victor. "Mata kalian sedikit cokelat."
"Tidak hanya kami berdua dengan mata cokelat."
Terdengar suara desiran pasir tatkala Merry mendekat.
"Victor, apa kau tahu mengenai apa saja tentang kampus kami?" tanya Merry.
"Aku bukan orang yang berpendidikan, jadi mana pernah tahu tentang kampus." Ia menggeleng.
"Oh, ya?" Ia menunjuk rumah Victor. "Lalu kenapa ada banyak buku di rumahmu?"
"Terkadang tidak hanya perut yang harus diisi, tetapi otak juga perlu. Lagi pula itu aku dapati dari tukang buku loak yang sudah pensiun, jadi bukan punyaku sepenuhnya."
Merry duduk di tengah-tengah kami. Napasnya berhela panjang ketika ia membuka kedua kakinya ke depan. Sejengkal titik gulungan air hampir mengenai kakinya, hingga kini ia menarik kembali agar tidak basah.
"Sayang sekali, tempat seindah ini akan hilang. Rumah gubuk itu akan kehilangan eksistensinya."
"Eksistensi ... masa bodoh dengan eksistensi. Aku hanya perlu esensi dari rumah itu, yaitu tempat berlindung."