Edge of the Jungle

JAI
Chapter #13

13

Tiada mata yang sebegitu menatap benci tatkala tersebut sebuah nama, terkecuali Rhea. Bagaikan petir yang menyalak seketika, ujung senapan angin tersebut tegas menunjuk ke tengah kedua bola mataku. Seringai mata dirinya seakan ingin menerkam dan mencabik pandangan yang aku tatap. Suaranya berteriak di tengah rumah hutan yang sunyi ini, berusaha untuk memanggil penunggunya dan menyerang kami secara bersamaan.

Gadis itu tidak main-main. Merry terkulai lemah setelah kepalanya terbentur pada rak buku. Ia memintaku untuk berjarak dan berdiri di sudut yang berbeda, lalu kedua jemarinya melekat pada leher Merry untuk memastikan detak nadi. Sementara ia melakukan itu, senapannya tidak henti-hentinya untuk mengarah kepadaku. Aku terpaksa untuk mengangkat tangan dan tidak melakukan gerakan yang tiba-tiba.

Inikah dirinya yang sebenarnya? Dibesarkan oleh hutan lebat hingga memunculkan sikap buas yang selama ini ia sembunyikan dari semua orang?

"Angkat dia ke ruang bawah tanah," ucapnya datar.

"Rhea ... kami tidak melakukan apa pun, kecuali⸺"

"Aku pernah melubangi kepala seseorang sebelumnya, jadi jangan pernah main-main denganku," balasnya.

Gertakan itu seiring dengan Rhea yang menjatuhkan tubuh Merry ke depan. Aku memangku tubuh gadis itu menuju sebuah ruangan bawah tanah rahasia. Pintu ruangan tersebut tersembunyi di balik sepetak bilah kayu lantai yang tertutupi oleh karpet. Rhea menghidupkan pencahayaan. Aku dapat menemukan ruangan bawah tanah ini dipenuhi oleh buku-buku yang tersusun-susun di sebelah kanan. Pada dinding di depanku, terpasang sebuah papan tulis hitam dengan tulisan kapur berupa rumus-rumus fisika yang membingungkan. Sisi kiri papan tulis tertempel sejumlah foto wajah yang saling terhubung satu sama lain melalui jalinan benang merah.

Rhea mengambil dua buah kursi, kami didudukkan secara paksa di hadapannya. Kepanikan bercampur dengan napasku yang terasa sesak oleh debu ruangan ini. Panas membuat cucuran keringat pada dahiku. Sementara gadis itu duduk dengan tenang sembari menghisap rokok putih. Tidak lama kemudian, ia membuka salah satu kotak dan mengeluarkan sebilah pisau dengan bercak darah yang mengering.

"Sejak awal aku mengenal kalian, tidak ada sekalipun padanganku teralihkan oleh gelagat mencurigakan. Sebenarnya kalian siapa?"

"Maksudmu apa, Rhea? Aku sama sekali tidak mengerti."

"Maksud katamu?!" Rhea berdiri dan menancapkan pisau itu pada gagang tangan kursi. Aku beruntung menarik tangan lebih cepat. "Kalian bagian dari intelegen?"

"Kami berdua hanya mahasiswa biasa di kampus ini. Kami tidak ada hubungannya dengan agen rahasia apa pun," balasku, "Sebenarnya kau siapa?"

"Aku? Aku Rhea Zarathustra, anak kandung dari Profesor Nurman Zarathustra, penyandang nama yang paling terkutuk di kampus ini. Kau sudah dengar tentang aib dari keluarga kami? Maka kau sedang lihat siapa aku sebenarnya."

Aku berusaha menenangkan diri. Sebenarnya aku mampu untuk menghantam Rhea dengan sekali pukulan, tetapi pisau itu mencari taruhanku kemudian. Aku mengurungkan niat melakukan itu dan memilih menghela napas panjang.

Lihat selengkapnya