Ujung malam tenggelam di akhir kantuk tatkala mata terbuka. Dingin berkabung di sekujur tubuhku, pertanda jika subuh hari sedang menyambutku kali ini. Aku menatap diri sendiri yang tercermin pada bayang-bayang televisi LCD lebar. Pundak tanpa kusadari sudah mati rasa, gadis itu sepanjang malam menindihkan berat kepalanya padaku. Aku pun memindahkannya perlahan agar tertidur sempurna di atas sofa, setelah itu aku bergegas pulang. Tidak pantas rasanya jika seorang bujangan baru pulang di pagi hari jika dilihat oleh tetangga nantinya, meskipun komplek perumahan ini aku dapati begitu individualis dan tidak terlalu peduli.
"Mungkin aku akan beristirahat beberapa hari sampai dahiku benar-benar pulih. Aku tidak mau orang melihat aku begini," ucap Merry tatkala ia tersadar jika aku sudah berdiri.
"Aku pun berpikir begitu .... "
Hari bergulir seperti biasanya. Aku tetap tidak mampu menerka apa yang terjadi. Esok hari merupakan sebuah misteri yang bergulir seperti dadu lempar di meja perjudian. Setiap orang berharap bergulir pada sisi yang menguntungkan, sebagian darinya berdiri untuk tidak melanjutkan permainan. Aku masih terbayang bagaimana kejadian itu bergulir, terbayang jika kami bisa-bisa saja terbunuh oleh seorang wanita gila dengan pisau dan senjata bidik. Semuanya sudah terjadi dan aku masih tidak mengerti bagaimana kelanjutan.
Rhea menghilang beberapa hari ini. Rumah kayu kokoh di tengah hutan itu tengah sunyi tanpa gonggongan James yang selalu berputar di hadapan tatkala aku datang. Pisang makanan gratis bagi kera hanya tinggal tangkainya saja dan kulit-kulitnya pun membusuk di atas tanah. Kerajinan rotan dan pahatan kayu seperti terbengkalai di belakang rumah. Aku menyelinap ke dalam rumah, mengulang nyawaku yang pernah hampir seperti menyangkut di ujung tenggorokan. Piring kotor tampak berserakan di atas wastafel dan cangkir hanya berisikan bubuk kopi yang mengering. Aku menduga ia sudah pergi sehari semenjak kejadian tersebut.
Kabar itu sampai di telinga Merry. Ia memintaku untuk mencari Evan selaku satu-satunya orang terdekat Rhea karena hanya pemuda itu yang selalu bolak-balik ke rumah Rhea. Hanya saja, Evan mengaku jika Rhea tidak pernah ke tokonya seminggu ini dikarenakan rotan semakin sulit untuk dicari. Pengembang resort sudah mulai membabat bagian hutan yang menjadi habitat alami rotan di kawasan tersebut.
Ke mana gadis itu? Ia menghilang tanpa jejak sebagaimana Profesor Zarathustra lakukan. Tidak ada tanda-tanda tujuan ia pergi. Semakin aku menunggunya, semakin kuat penasaran dan rasa bersalahku. Merry aku rasa tidak seperti itu, ia bersikap seperti biasa aja dan semakin tidak sabar ingin memukul wajah Rhea jika diberi kesempatan bertemu kembali.
Siang yang terik mengantarkan Merry untuk datang ke kosan hanya untuk menunjukkan jurnal lain yang ia temukan di perpustakaan. Ia duduk sembari menjilati eksrim cone di hadapan meja belajarku. Aku memintanya untuk segera mencari Rhea karena ia sudah hilang hampir seminggu. Ucapanku itu hanya berakhir dengan lemparan bola kertas tepat pada dadaku.
"Khawatirkan Abdias yang mengira kita pacaran. Lebih baik kau tutup mulutnya itu."
Aku menatap datar padanya. Sahabatku itu sudah pasti berpikir yang tidak-tidak mengenai kami berdua semenjak memergoki mobil Merry pernah terparkir di depan kosan.
"Abaikan saja anak itu, mulutnya memang suka aneh." Aku menarik kertas jurnal fotocopy-an tersebut.
Tangannya memainkan pena di atas meja.
"Sekarang dia orang kedua yang ingin aku hantam mulutnya," balas Merry. "Kau sudah mengecek rumah Rhea? Mana tahu dia sudah kembali."
Aku menggeleng. "Kemarin aku ke sana ... dia masih juga tidak ada. Aku jadi khawatir ia melakukan hal yang tidak-tidak."
"Sudah kau tanyai Victor? Bisa jadi Rhea tinggal di hutan untuk memerhatikan aktivitas pengembang resort. Aku dengar kalau mereka mulai membangun pos-pos," jelas Merry
Aku kurang yakin bisa untuk bertemu dengan Victor. Pria itu selalu bergerak, hingga sulit untuk ditemukan.