Aku berada pada sebuah titik di mana semuanya terhenti secara tiba-tiba. Bulan tampak begitu terang dan jelas, serta awan gemawan enggan untuk menapaki ketinggian langit. Angin yang begitu dingin menusukku dengan nyaman, ia berada di antara kami untuk menyelinap keheningan di tengah keributan itu. Harum dibawanya aroma malam serta bisik-bisik serangga yang bernyanyi sahut menyahut. Kami berdua tersenyum sebelum badai yang akan menanti. Telah kami terjang marahabaya, setidaknya kami berhasil melewati awalan dengan sempurna.
Pemberontakan, itulah yang disebutkan oleh Rhea kepadaku sebagai dasar evolusi dari pemikiran manusia. Manusia pertama telah berhasil memberontak dirinya sendiri, jatuh dari surga untuk melepaskan segala egonya, lalu bertarung dengan alam yang ganas. Keganasan alam telah membangkitkan perlawanan pada diri manusia berupa penaklukan. Manusia berhasil berada pada rantai makanan tertinggi di atas bumi.
Keserakahan pun tiba di saat semuanya telah berhasil dalam penaklukan. Tidak ada lagi rasa memiliki bersama. Dominasi pun menumbuhkan pemberontakan di antara mereka. Sejarah pun dimulai dengan pembunuhan, ledakan, makar, serta kebencian yang menyeruak ke seluruh dunia. Perang tidak dielakkan untuk perdamaian.
Jikai kau ingin berdamai, maka memberontaklah ....
Kalimat itu berakhir di ujung gelap lampu rumah Rhea sebelum aku pergi meninggalkannya. Aku mulai tidak ragu jika ia benar-benar anak dari Profesor Zarathustra.
Berita mengenai ledakan tersebut tersebar seantero kota. Wartawan hilir mudik untuk meliput pasca kejadian yang membuat gempar kampus kami. Rektor mulai melakukan konferensi pers bersama pihak pengembang resort bahwasanya penyebab ledakan tersebut masih dalam tahap penyidikan pihak polisi. Namun, mereka tetap menduga terdapat human error yang mungkin bisa berasal dari puntung rokok, pemantik api, atau hal semacamnya.
Merry menarik diriku untuk keluar dari keramaian massa yang berkumpul di luar garis polisi. Ia mengajakku ke rumah kayu yang berada di area pepohonan akasia. Kayu rumah menjadi sandarannya sembari memegang dahi. Pikirannya tampak berputar-putar, terlihat dari raut wajahnya yang bingung. Tidak lama kemudian, ia menatapku dengan mata tajam.
"Kau gila?! Kau yang memintaku agar Rhea jangan melakukan hal yang tidak-tidak, tetapi kau malah membantunya melakukan ini."
"Aku tidak punya pilihan, aku harus membuktikan jika aku serius untuk membantunya," balasku.
"Inkonsitensi itu dirimu ... kau terlalu goyah dalam pendirian. Aku membenci orang-orang yang tidak konsisten."
"Kau boleh membenciku, tetapi semua ini sudah terjadi."
Merry mengangguk. "Iya benar, jangan hubung-hubungkan kejadian ini dengan aku. Aku tidak mau ikut campur dalam masalah. Ini kriminal!"
"Bisa pelan-pelan bicaranya?" Aku mengecilkan suaraku karena takut ada seseorang yang mendengar percakapan kami.
"Rhea keliru, kita bisa berdamai tanpa pemberontakan. Pemberontakan hanya menciptakan kekacauan baru. Ia tidak melihat sejarah 1965, pada akhirnya itu berdampak pada ayahnya sendiri."
Aku menutup wajahnya dengan telapak tangan setelah menyadari ternyata kejadian tersebut telah membuat gempar seluruh kota.
"Ayahnya bukan seorang komunis, Merry."
Ia menatapku. "Benar, dia bukan seorang komunis, aku pun tahu itu. Tapi, kau lihat sekarang? Label komunis pun sampai kepada anak cucunya sampai sekarang. Nama itu menjadi terkutuk."
Kami sama-sama terduduk bersandar di kayu rumah. Hening tercipta sesaat.
"Ke mana anak itu sekarang, ya? Aku tidak menemukannya di rumah," ucapku.
"Kabur seperti ayahnya," cetus Merry sembari menghela napas. "Dasar pengecut!"
Aku menatapnya. "Kau ada masalah apa dengan ayahnya? Kau kelihatan membenci beliau."
"Aku tidak membenci sosoknya, tapi perilakunya yang pengecut. Bersembunyi di balik kekacauan. Jika ia serius, seharusnya Rhea datang kepada kita sekarang."