Seberdosakah itu mereka?
Itulah yang aku tanyakan padaku sendiri setelah menerima fakta jika para keturunan Zarathustra telah menghapus nama mereka. Bahkan, dari kalangan mereka sendiri pun membenci nama itu. Seakan dosa turunan itu benar-benar ada dan berlaku pada mereka.
Gonggongan James terdengar tatkala kami berjalan keluar. Rhea masih bermuka masam karena tamparan Merry, aku rasa ia ingin membalas dendam akan hal itu. Aku merasa terancam karena berada di sampingnya saat ini, bahkan ia sama sekali tidak ingin memegangi tali anjingnya sendiri.
"Apa benar kau mengenal adik dari Profesor Zarathustra?" tanyaku ketika melihat Rhea pergi sembari menarik James keluar gerbang rumah.
"Aku mencari siapa saja nama Zarathustra di kampus. Hanya aku di komunitas sejarah yang seserius itu," balasnya.
Nama itu memang terkutuk. Tidak ada satu pun orang yang mengaku secara jelas jika ia merupakan seorang Zarathustra. Diskriminasi serta prasangka buruk dari masa lalu, selalu saja membayangi siapa saja yang menyandang akhiran nama tersebut. Merry banyak mengetahui siapa saja dari mereka, tetapi ia enggan untuk memberitahukannya kepadaku karena masalah privasi. Ia menyebutnya sebagaiĀ etika jurnalistik.
Kami membuat janji untuk bertemu di rumah Rhea pada pukul empat sore. Aku datang lebih cepat satu jam karena menumpang pada mobil Abdias yang sengaja ke kampus untuk menemui seseorang. Seperti biasa, Rhea selalu aku dapati sedang sibuk dengan pekerjaannya. Kali ini ia sedang mengasah ujung panah dari senjata untuk menembak ikan. Kepalanya pun terpasang kacamata renang. Tatkala aku datang, ia memintaku untuk mengambil pisau di dalam gudang. Setelah aku antarkan padanya, tiada satu pun ucapan terima kasih yang terucap darinya.
"Aku lebih cepat datang karena menumpang Abdias yang mau bertemu seorang gadis di kampus."
"Kenapa kau tidak mencari seorang gadis juga seperti sahabatmu itu?" tanya Rhea. Matanya terus saja mengarah ke batu asah. "Aku bukan gadis yang tepat untuk kau temui setiap hari."
"Hey ... aku menemui bukan untuk mengajak berkencan. Aku juga tidak mau berkencan dengan gadis yang mandi hanya sekali sehari."
Ia menatapku tajam, lalu kembali kepada pekerjaannya. "Itu benar ... aku tidak menolak fakta itu."
"Kau baru dari laut?" tanyaku.
Rhea berdiri sembari merenggangkan otot. "Ini aku mau ke laut. Stok makan malam sudah menipis. Aku harus mencari ikan untuk stok seminggu."
"Seminggu? Ikanmu bisa busuk di dalam kulkas yang tidak pernah hidup itu."
"Kau harus banyak belajar dariku bagaimana mengawetkan ikan." Ia menyandang tasnya. "Ayo ikut, akan aku ajarkan kau menembak ikan. Ambil satu senjata tembak di dalam gudang."
"Kita mau bertemu pamanmu. Aku tidak mau bertemu Ketua Jurusan Filsafat dengan keadaan basah," balasku menolak ajakannya.
"Tenang saja, ada banyak baju ganti milik Evan di kamar atas. Masih layak pakai."
Ia melenggang bebas ke dalam jalan setapak, aku pun terpaksa mengikutinya dari belakang. Jalan berbelok aku temui, Rhea memimpin di depan bersama James tanpa ikatan tali. Perjalanan ini ternyata berujung ke dermaga kayu kecil di muara sungai. Terdapat sampan bermesin motor yang bersandar di sana. Sementara Rhea membuka ikatan talinya, aku diminta untuk naik lebih dulu dan duduk di belakang James yang menjulurkan lidah. Tangan Rhea kemudian menghidupkan mesin motor tersebut dengan tali, menariknya dengan cepat, sehingga mesin hidup serta mengeluarkan asap hitam yang pekat.
Sampan bergerak menuju ujung muara ini. Laut dangkal kami temui. Ikan-ikan terlihat dengan jelas di bawah sana. Aku menoleh ke belakang tatkala sampan menambah kecepatannya. Rhea tampak menyipitkan mata oleh cahaya mentari yang masih terik. Tidak lama kemudian, tangannya mengambil sesuatu dari dalam tas. Ia melemparkannya padaku, yaitu sebuah alatĀ snorkling.
"Hey anak sungai, pakai ini kalau berenang di laut. Air asin itu memedihkan mata."
"Tidak pun kau jelaskan, aku sudah tahu kalau air laut itu pedih di mata." Aku memegang kayu di sisi kanan dikarenakan sampan bergoyang berkat ombak kecil. "Sudah berapa lama kau melakukan ini?"
"Sejak kecil ... ibuku mengajarkan aku untuk menembak ikan, lalu diasapi untuk makanan selama seminggu." Rhea mempersiapkan alatnya.