Edge of the Jungle

JAI
Chapter #18

18

Keterlambatan paling dibenci oleh Merry. Ia duduk memanjangkan kaki di atas kap mesin mobil Rhea. Aku kira ia feminim bagaimana ia dikenal sebagai kakak tingkat anggun yang memikat kami para junior di kampus, ternyata yang aku temukan sebaliknya selama bergaul dengannya. Ia menghujat kami kenapa datang terlambat dengan tubuh basah kuyup seperti bocah yang pulang hujan di sore hari. Rhea menunjukkan jari tengahnya, sementara aku berlari ke dalam rumah untuk mengganti baju.

Mobil bergegas pergi setelah Merry memberikan kartu tanda jurnalis kepada kami berdua. Dosen bergelar Profesor itu tidak akan mau memberikan informasi orang tanpa dasar yang jelas. Topik yang dibawakan pun cukup sensitif, yaitu mengenai seseorang yang pernah dianggap sebagai musuh negara di masa lalu. Sebutan yang cukup membuat malu orang-orang yang menyandang nama Zarathustra di belakangnya.

Kampus mulai sepi dari mahasiswa. Tersisa mereka yang membuat tugas di gazebo-gazebo dan pasangan yang memadu kasih di hadapan orang berdiskusi. Urusan cinta memang lebih menarik daripada mengisi otak dengan informasi. Kami memasuki Fakultas Budaya dan Filsafat dengan dibimbing oleh Merry menuju ruangan Profesor tersebut.

Sampailah kami di depan pintu bertuliskan 'Ruang Dekan' dengan nama beliau beserta gelar akademiknya. Rhea menggerutu ketika melihat label nama berlatar hitam dengan tulisan emas tersebut.

"Adam? Hanya itu? Dia menghapus nama belakangnya sendiri," ucap Rhea.

Aku menyenggol lengannya. "Jaga bicaramu di depannya, walaupun sebenarnya dia adalah pamanmu."

"Jangan memperkenalkan jika kau seorang Zarathustra, apalagi mengaku jika kau anak dari Nurman Zarathustra, ingat itu!" tekan Merry.

Belum sempat Merry menghentakkan ketukan tangannya pada pintu, terdengar suara berat bapak tua dari ruangan tersebut.

"Masuklah ... berhenti berbincang di depan pintu ruanganku."

Suara itu terdengar berat, selayaknya orang yang sudah sepuh. Ia terbatuk beberapa kali sebelum kembali meminta kami masuk. Kami saling memandang, terlebih lagi takut jika ia mendengar percakapan kami bertiga.

Ruangan kami masuki dengan kepala menunduk. Doktor Adam sedang duduk di meja putarnya sembari menyeruput minuman dari cangkir. Ia memandangi kami dengan tatapan tajam, melalui bagian atas kacamata, persis seperti seorang pembibing yang ingn membantai skripsi mahasiswa. Rambutnya putih bersih, memanjang hingga ke ujung dagu. Kami bertiga sempat terjebak dalam suansa canggung tanpa berbicara sedikit pun hingga Doktor Adam menunjuk kursi di depan. Isyarat tangannya meminta kami duduk tepat di hadapan meja kerja miliknya.

"Kumisnya seperti Sigmund Freud," celetuk Rhea dengan nada rendah.

Bergeretak gigiku menahan emosi karena ia bisa saja membuat kami terusir dari ruangan ini. Suara itu sudah pasti terdengar oleh beliau yang ada di depan.

"Selamat Sore, Pak. Kami dari jurnalis sejarah kampus ingin melakukan interview singkat kepada bapak. Maaf kami sedikit terlambat," ucap Merry dengan percaya diri sembari berjabat tangan. Tidak sedikit pun ragu dalam ucapannya, meskipun kami tahu itu hanya akal-akalan dirinya.

"Terlambat adalah dosa yang tidak disadari oleh manusia." Padangan mata Doktor Adam menyempit kepada Rhea. Ia sedikit mendekatkan wajahnya. "Aku tahu kau ...."

"Saya memang sering berkeliaran di sekitar waduk kampus," balas Rhea. Tanpa diminta menjelaskan diri sendiri, ia malah membawakan diri sebagai pengacau.

"Bukan ... kau lulusan dengan nilai tertinggi dua atau tiga tahun lalu. Aku mengingat wajahmu yang melempar microphone kepada Dekan Fakultas Sains."

Aku memandangi gadis yang sedang duduk santai itu. Bagaimana bisa ia melemparkan benda ke hadapan pimpinan fakultasnya sendiri?

Ujung bibir Rhea bergerak perlahan membentuk senyum. "Saya tidak suka mereka yang tidak menghargai saya ketika berbicara."

Lihat selengkapnya