Angin seakan ingin merubuhkan bangunan bata yang sudah keropos itu. Tumbuhan rambat memenuhi sekujur dinding dan noda hitam yang sudah bertahun-tahun bersarang di sana. Pemandangan kami teralihkan oleh sekumpulan kera yang berlari di atapnya, lalu dua buah ekor kerbau yang sedang memamah biak di halaman sekolah. Bapak tua tersebut membuka gerbang besi sekolah sebelum ia pergi, kami pun memijakkan kaki untuk pertama kali di sana.
Dingin suasana melihat pemandangan menyeramkan dari bangunan sekolah yang terbengkalai. Kami mengingat bagaimana semangat Profesor Zarathustra melanjutkan semangat leluhurnya yang pernah mendirikan sekolah sosial sebelumnya. Mereka dipenuhi ketakutan ketika berjuang memberikan ilmu kepada anak-anak desa yang bahkan tidak pernah bermimpi untuk mengenyam pendidikan. Konotasi negatif dari sekolah sosial yang dianggap dekat dengan politik kiri telah berhasil membuat Profesor Zarathustra mengajar secara gerilya.
Rhea berjalan lebih cepat. Aku memperingatinya jangan masuk dahulu ke dalam kelas tersebut dan menyarankan agar lebih dahulu berkeliling untuk melihat sekitar. Tatkala kami ke belakang sekolah, satu bangunan kecil untuk kegiatan buang air dan sumur cincin yang sudah ditutup dengan tanah. Kami menadahkan kepala ke atas, sekolah ini berada di bawah bukit. Terdapat jalan setapak menuju puncak yang berisikan ladang pertanian warga.
"Aku masuk ke ruang guru mereka," ucap Rhea.
Ruangan yang dimaksud oleh Rhea tidak sulit untuk ditemukan. Sekolah hanya berisikan dua ruangan, satu ruang kelas dan satu ruang guru kecil yang bisa menampung sekitar lima meja. Gelap yang kami lihat di sana dikarenakan jendela yang sudah diblokade dari luar. Meja-meja masih dalam keadaan utuh, tetapi tidak dengan kursi dan lemari yang pintunya ingin tanggal. Ruangan ini lebih mirip sarang serangga, aku melihat sarang semut yang menjalar di dinding.
"Ayahku pernah berada di sini ... duduk bermenung sebelum ia menemukan ibuku," ucap Rhea. "Beberapa kali ia kabur dan pergi karena dicari oleh rezim penguasa. Aku membacanya dari catatan-catatan kecil di bukunya."
"Sekolah ini erat ikatannya dengan tokoh Tan Malaka sebelum ia kabur ke Singapura. Beliau menyarankan Zarathustra pertama untuk mendirikan sekolah sosial di Sumatera."
Rhea melirik Merry. "Zarathustra pertama? Julukan yang unik untuk buyutku sendiri."
"Tidak salah, kan?" Merry beralih untuk membuka salah satu lemari.
Gadis itu terbatuk ketika membuka lemari. Ia dengan hidup yang ditutup sedang berusaha mencari sesuatu di dalam sana. Usahanya berbuah dengan menumpuk buku-buku tua dan berkas-berkas di dalam map yang masih utuh.
"Aku kira lemari itu jadi sarang ular," ucapku sembari membersihkan debu di atas tumpukan buku dan map.
"Buku-buku ini sudah aku baca semua, kurasa ...." Rhea menolehkan wajahnya pada Merry.
"Buku apa yang tidak kau baca?" sindir Merry.
"Buku memasak, ia tidak pandai memasak," candaku. Sungguh, ia benar-benar tidak bisa memasak untuk orang lain. Masakan yang ia buat hanya bisa dinikmati oleh dirinya saja.