Aku terhening di antara dua pohon melihat atap-atap seng rumah desa yang sudah berwarna cokelat. Kendaraan jalanan terlihat seperti semut, saling berselisih dalam dua arah yang berbeda. Aktivitas terlihat begitu lambat dan tenang, tidak ada ketersinggungan antara satu jadwal dengan jadwal yang lain, sesuatu kontradiksi dari suasana perkotaan. Terasa basah wajahku oleh embun yang masih berbayang. Hidungku melebar tatkala udara dari bawah naik ke atas bukit. Pandanganku mengedar, kini aku paham kenapa desa ini diberi nama Desa Bukit Bundar. Bukit ini mengeliling desa seperti kawah gunung,
Dua gadis itu sedang berada di dalam rumah kayu kecil pria bernama Nusa, seseorang yang tadi menodong kami dengan senjata ketapel. Nusa membawa kami ke rumahnya yang berada di puncak bukit, tepat di atas sekolah. Kami yang tidak terbiasa cukup meneteskan keringat ketika mendakinya, berbeda dengan Nusa yang tanpa ekspresi sama sekali.
Terdengar suara melengking Merry memanggilku ke dalam. Tiga cangkir tertercium bercampur dengan asap dari tungku dapur belakang. Nusa menghampiri kami dengan membawa toples yang berisikan kue kering. Ia memandang aku dan Merry, seakan tidak berani memandang Rhea. Setelah meminjam pemantik api milikku, ia pun duduk bersama kami.
"Pertama aku jelaskan, aku bukan anak dari Bapak Professor seperti tuduhan Rhea padaku. Kau lihat itu ...." Nusa menunjuk foto dirinya bersama kedua orangtua yang menempel pada dinding kayu. "Aku punya orangtua."
"Kalung itu adalah buatan ayahku. Sedangkan kerangnya, aku yang mengoleksi dari tepi pantai. Satu kerang untuk ibu, satu kerang untuk ayah, satu kerang untuk diriku." Ia menyentuh kalung tiga kerang itu dengan jemarinya. "Lalu, bagaimana kau mendapatkan kalung itu?"
"Profesor memberikannya padaku setelah Ibu meninggal. Ayah kita berteman dekat, jadi itu sebagai kenang-kenangan," balas Nusa sembari menghisap rokok. "Apa tujuan kalian ke sekolah usang itu?"
"Kami mencari Profesor Zarathustra. Sekolah itu diharapkan bisa jadi petunjuk di mana beliau berada."
"Dia sudah mati ...."
Keadaan seketikan hening tatkala Rhea menepuk meja. Cangkir hampir saja menumpahkan seluruh isinya. Tangan Rhea tampak mengepal sebagai reaksi dari kalimatnya tadi.
"Jaga mulut busukmu itu!" Jari telunjuknya tegas tertuju kepada Nusa.
Nusa membalas dengan menunjuknya dengan ujung rokok. "Ayah kita berada di pelarian itu. Mereka lari ke rimba dikejar oleh penembak misterius. Ada banyak tembakan yang terdengar. Kau tahu apa yang terjadi selanjutnya? Ayahku ditemukan bersimbah darah. Aku yakin sekali Profesor tidak akan selamat."
"Kapan kejadian itu?" tanyaku.
"Bertahun-tahun sebelum revolusi 1998. Aku masih kecil saat itu."
Tangan Merry mengeluarkan buku catatan dari tasnya.
"Kami punya banyak bukti kalau Profesor masih hidup. Ia pernah dipenjara dan dibebaskan setelah revolusi 1998. Ada banyak bukti tulisan-tulisan beliau yang dimuat di surat kabar. Bahkan dari foto di lemari sekolah, ia sempat mengunjungi kampus ketika masa-masa menghilangkan diri."
Pria itu tetap memandang sampul buku warna hitam tersebut tanpa sama sekali membukanya.
"Aku tidak mempercayai itu. Bisa saja orang lain yang menulis dengan kesamaan nama pena."
"Tidak ... kau mungkin bisa menulis dengan nama pena yang sama, tetapi kau tidak bisa menulis dengan cara berpikir yang sama. Ide itu orisinil ... aku sudah membaca berjilid-jilid tulisan ayahku, tidak ada yang bereda dari cara dia berpikir dan menulis," jelas Rhea.
Nusa menarik napas panjang. Ia memperbaiki posisi duduknya. "Lalu, apa yang kalian harapkan dari aku? Aku sama sekali tidak punya petunjuk dalam hal ini. Semenjak pelarian itu, Profesor tidak pernah lagi datang mengunjungi diriku. Bahkan, ia tidak datang di pemakaman sahabatnya sendiri."