Edge of the Jungle

JAI
Chapter #22

22

Aku sejenak berpikir, bagaimana jika aku tinggal sebatang kara. Setiap langkahku bertegak hening sebuah kesepian tanpa teman-teman. Selayaknya serigala tanpa kawanan, berburu hanya untuk mengenyangkan perut sendiri. Seringaiku tidak ada yang mengakui, hanya musuh yang menyadari. Gelap yang kutempuh pun akan terasa sunyi, hanya geming suara gemericik air hujan yang jatuh dari dedaunan dan gemeretak dedaunan kering yang tidak sengaja aku pijak sendirian.

Lututku menghadap ke lembah bukit tempat berdirinya desa. Begitu kecil diriku di antara kerumunan. Sementara di atas sini ada seorang yang menapaki hidup dan bergantung sendirian pada alam. Sedikit angin yang membawanya ke bawah sana, tanpa seorang pun teman yang ingin menemaninya di atas. Dirinya sanggup, itu yang aku akui. Tanpa senyum seseorang yang menyayanginya, hanya kicauan burung bukit yang bangun di pagi hari dan pulang ketika petang.

Rambut bergelombang Merry jatuh dari pundaknya tatakala berusaha mengangkat balutan kain sarung yang berisikan baju-baju milik Nusa. Pria itu setuju dengan tawaran Rhea dengan syarat jika ia akan diizinkan memakai sampan untuk melaut sesuka hatinya. Ia sama sekali belum pernah ke kota, apalagi merasakan asinnya air laut.

"Untuk sementara kau bisa tinggal di rumahku dulu. Kamar Rhea sungguh tidak layak untuk ditempati sekarang," sindir Merry. Ia memang pernah menginap di rumah Rhea dan mengeluh jika kasurnya sangatlah tidak empuk dan sering kali melihat tikus melintas.

"Diam saja jika dirimu masih mengeluh jika mati lampu," balas Rhea sembari menuruni jalan setapak bukit.

Nusa menoleh padaku. "Apa kau tinggal bersama mereka juga?"

"Tidak, aku sama seperti mahasiswa konvensional pada umumnya yang hidup di kosan. Sesekali kau bisa main ke kosanku." Aku mengangkat tas Nusa.

"Aku tidak masalah jika tinggal di mana saja. Aku sudah biasa dengan keterbatasan."

"Tidak ada kata keterbatasan di rumahku. Ketika kau menginjakkan kaki di sana, yang kau hirup adalah kebebasan," pungkas Rhea.

Aku dan Merry saling bertatapan berkat kalimat itu. Kami mungkin berpikir yang sama jika Nusa sama sekali tidak mengerti dengan ucapannya. Terlihat dari bingungnya wajah Nusa yang memimpin turunnya jalan kami.

Sudah mantap hati Nusa untuk meninggalkan desa tercintanya. Ia sama sekali tidak berpamitan dengan para tetangga, terlebih lagi tetangganya butuh menempuh sepuluh menit berjalan terlebih dahulu. Ketidakberadaan teman pun mempermudah langkahnya untuk pergi. Nusa hanya berpamitan dengan lahan kering tempat dirinya berkebun. Hatinya sudah rela jika sewaktu masa panen nanti diperuntukkan kepada hama babi yang sering menyeruduk rumahnya.

Mobil berangkat menuju kota dengan membawa sedikit informasi mengenai jejak-jejak Profesor Zarathustra. Rute balik yang sama seperti sebelumnya, aku tidak perlu menggunakan peta elektronik lagi. Kami pun sempat membeli oleh-oleh berupa hasil alam dari petani setempat untuk dibawa pulang. Nusa berperan menjadi penawar harga dengan bahasa setempat, sementara Merry paling besar memborong keranjang hasil panen mereka.

Sebagaimana rencana sebelumnya, Nusa untuk sementara akan tinggal di rumah Merry sebelum perlengkapan kamar yang layak akan ia beli. Gadis itu memiliki uang yang tidak terbatas untuk melakukan hal semacam itu. Sementara Rhea, ia akan membersihkan kamar yang akan ditempati oleh Nusa. Aku berjanji akan mengunjungi dirinya ketika selesai menghadapi beberapa dosen untuk meminta tanda tangan.

Aku berdiri di depan mobil. Rhea baru saja keluar dari rumah setelah meletakkan barang-barang. Suara gonggongan James berdengung di sekitar kami. Ia tampak senang dengan kehadiranku. Terlihat dari anjing itu yang berputar-putar menunggu diriku memanjakan dirinya.

"Jemput aku di pengadilan. Besok aku akan berada di sana," ucap Rhea.

"Sidang lanjutannya akan berlangsung besok? Aku bisa ikut?" pintaku.

Lihat selengkapnya