Edge of the Jungle

JAI
Chapter #23

23

Sesuatu yang membuatku terduduk hening di sudut kamar kini datang kembali. Berbulan-bulan ia hanya berupa serat-serat kenangan yang datang dan menghilang sesuka hatinya. Hati yang aku panggil tanpa jawaban, tangan yang aku sentuh tanpa lambaian, mata yang aku tatap tanpa menoleh, ia kembali hadir di sini dengan nyata. Ia bukanlah sebagai hantu. Ia merupakan realitas yang muncul.

Aku sempat tidak berkata-kata ketika berada di hadapan Yuri. Kekecawaan. rindu, bahagia karena telah melihatnya kembali, kini bercampur aduk meracau di dalam pikiranku. Ia memanggilku dua kali, aku hanya diam. Satu kalimat yang bisa aku ucapkan hanyalah permintaanku untuk duduk di gazebo gedung kosan. Sementara itu, aku bergegas masuk ke dalam kamar untuk mengambil minuman ringan.

"Kau datang padaku tanpa berkenalan, menghilang juga tanpa berpamitan. Lalu, kau hadir lagi di sini," ucapku sembari menyajikan minuman padanya.

"Beginikah caramu menyambut tamu?" tanya Yuri.

"Beginikah caramu memperlakukan aku di masa lalu?" balasku dengan penuh tekanan.

Yuri terdiam sejenak. Ia membuka minuman soda yang aku suguhkan.

"Aku hanya ingin meminta maaf. Mahatma, aku sebenarnya bingung harus bersikap apa. Aku tahu kau akan marah padaku, sementara itu aku tidak sanggup mengatakan hal yang sebenarnya. Aku ada dalam dilema pada saat itu."

"Kau bajingan, Yuri. Aku ada di satu titik di mana aku ingin bunuh diri." Aku menghentak meja. "Sebenarnya aku salah apa? Apa yang sebenarnya kurang dariku? Apa hanya karena aku bukan dari keluarga kaya? Hanya seorang pria sederhana dari desa yang merantau jauh-jauh ke kota."

"Mahatma, aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu saat itu. Namun, permasalahannya lebih kompleks. Keluargaku sama sekali tidak setuju. Aku juga butuh kepastian. Seorang wanita tidak sanggup menunggu lama sampai prianya merasa siap."

Napasku menghela pelan. Aku sadar tidak ada yang bisa aku jual dar diriku selain rasa cinta yang terlalu besar. Sementara itu, akan banyak pria yang jauh lebih pantas baginya di luar sana.

"Semuanya sudah berubah. Aku bukanlah Mahatma yang kau kenal lagi. Aku sudah hampir berhasil menghapus kenangan itu, tapi kau malah datang kembali⸺"

Tidak sengaja lengan panjang Yuri tersingkap. Aku melihat bekas lebam membiru di sana.

"Aku sebenarnya⸺"

"Kenapa dengan tanganmu?" Aku menyentuh tanganya, tetapi Yuri segera menyingkir.

"Ini aku terjatuh ...."

"Tidak ... ini tidak mungkin terjatuh." Aku menggenggam pergelangan tangannya. "Apa yang dilakukan suamimu?"

Seketika Yuri menangis. Ia memelukku dengan erat sebagaimana yang ia lakukan ketika ia melalui hari-hari berat di masa lalu. Air matanya menyesap pada dadaku. Tubuhnya bergetar menyadari sesuatu jika ia sedang tidak baik-baik saja. Ia masih belum bisa bercerita berkat tangis yang tidak ia bisa dibendung. Aku pun terdiam. Wanita yang selama ini hanya bisa menjadi hantu di sudut kamarku, kini datang dengan cerita mengenai gelapnya hari.

Yuri pulang setelah mencurahkan semuanya padaku. Ia bercerita mengenai hari-hari bahagia di awal pernikahannya, hingga ia sadar jika itu hanya permulaannya saja. Tidak ada pernikahan yang menyenangkan jika tanpa didasari oleh cinta. Suaminya pun berselingkuh dengan seorang mahasiswi yang merupakan adik tingkatnya di kampus. Sudah lama ia pendam jika suaminya sedang bermain api dengan wanita lain, hingga pengkhianatan itu tidak lagi bisa Yuri bendung. Suaminya melakukan kekerasan dikarenakan Yuri telah memberitahukan keluarganya dan juga menuntut perceraian. Pernikahan mewah yang sama sekali tidak aku hadiri itu, kini pun berujung di gugatan perceraian.

Tidak ada yang bisa kau harapkan dariku ... aku hanyalah seseorang dari masa lalumu, itulah yang aku ucapkan kepada Yuri ketika ia berlalu meninggalkanku.

Aku menatap foto Merry sewaktu kecil sembari memikirkan kalimat singkat yang aku ucapkan kepada Yuri. Jika aku benar, hatiku sudah begitu tertutup dengan orang yang mengkhianatiku dan meninggalkanku di dalam ruang kenistaan. Aku tahu sekali Yuri berharap jika aku melakukan sesuatu untuknya, tetapi aku enggan melakukan hal tersebut.

"Hey, kenapa wajahmu murung?" tanya Merry. Ia duduk di sampingku sembari memegang ponsel dengan mengarahkan kamera kepada Nusa.

"Tidak ada ... aku hanya lelah menemani kalian berkeliling."

Lihat selengkapnya