Setiap manusia memiliki kebutuhan alami yang tidak akan bisa dirubah, yaitu teman. Ia akan selalu membutuhkan hal tersebut meskipun ia berusaha keras untuk menutupinya dengan berbagai alasan apa pun. Rasa keterbutuhan ini akan selalu melekat karena manusia tidak akan mampu hidup sendiri. Ia butuh pertolongan, hiburan, senyuman, dan menghilangkan rasa kesepian itu sendiri. Semua hal itu bisa ia dapati dari kehadiran teman.
Aku enggan menyangkal jika Rhea bisa saja hidup sendiri di dalam hutan itu tanpa siapa pun yang mau mengunjunginya. Buktinya, ia bisa bertahan dengan memenuhi kebutuhannya sendiri dari alam. Urusan perut, ia bisa mengambilnya dari kebun dan laut. Masalah kebosanan, ia mempunyai segudang kesibukan untuk mencari uang dari rotan yang ia anyam sendiri. Saking gilanya, ia berkata bisa berbicara bersama monyet-monyet yang bahkan mencuri makanan dari hasil kebunnya sendiri.
Hanya saja, ia tidak pernah mampu menyembunyikan jika ia sebenarnya membutuhkan kehadiran teman. Semakin ia menutupi hal itu, semakin besar rasa itu akan selalu datang. Semakin ia menolak kehadiran diriku, terlalu erat baginya untuk memanggilku kembali.
Seperti biasa, rumah itu selalu gelap ketika malam hari. Penerangan hanya berupa lampu darurat yang dayanya bisa habis kapan saja. Selebihnya, kelipan cahaya api dari lampu minyak yang Rhea sematkan pada setiap sudut gelap. Aku mengetuk rumahnya dua kali, terdengar suara yang memintaku untuk segera masuk. Rhea telah berdiri sembari menenteng tas dengan tangannya.
"Maaf ... Merry tidak bisa ikut. Ia sedang diminta oleh untuk ikut bertemu dengan rekan-rekan bisnisnya."
"Oh, ya? Bagaimana dengan Nusa?" tanyaku.
"Dia masih belum kembali dari pulau seberang. Temanku berkata kalau ia keasikan bermain di sana. Tidak masalah, Nusa aman kalau bersama temanku." Ia memperlihatkan tas yang sedang ia tenteng. "Ini baru saja dipinjamkan oleh Merry. Ia datang tadi untuk memberitahu kalau ia tidak bisa ikut. Jadi, jangan pernah berpikir kalau aku membeli benda-benda semacam ini."
Aku tertawa kecil. "Aku tidak pernah heran jika kau membeli benda-benda semacam itu. Bukankah hal yang wajar jika dilakukan oleh seorang wanita. Tapi ... wow ... kau kelihatan lebih feminim malam ini. Bukan seperti gadis hutan yang selalu aku lihat."
"Kau kira aku tidak punya stok baju feminim. Ibuku selalu membelikannya setiap tahun untuk dipakai ke kampus, tetapi sangat jarang aku kenakan." Ia melemparkan kunci mobilnya padaku. "Jika ada yang menghina mobilku di tempat itu, bilang padaku."
Rhea sangat sensitif jika ada yang menjelekkan mobil ford tua itu. Meskipun sering bermasalah dengan kompresi ketika di pagi hari, ia tidak pernah berniat untuk mengganti mobil, meskipun membeli bekas sekali pun.
Bertandang kami ke coffee shop yang cukup terkenal di kalangan mahasiswa. Seperti biasa, selalu ramai setiap malam oleh mahasiswa yang melepas penat dari kegiatan kuliah sepanjang hari. Terdapat pula yang membawa kekasih mereka untuk menikmati momen berdua. Rhea turun sembari memerhatikan ramainya orang, sementara itu aku berdiri di samping dirinya yang antusias.
"Ayo memesan sesuatu ...," ajakku.
"Apa di sini ada koktail vodka?" tanya Rhea dengan polosnya. Ia sangat menyukai vodka yang terkenal kuat dan kental alkoholnya itu.
"Kau kira kita sedang di bar atau diskotik? Jika pun ada, usaha mereka sudah lebih dahulu ditutup aparat."
Kami memesan minum dan makanan ringan di meja barista. Cukup lama menunggu karena antrean pesanan yang banyak. Rhea bebas memilih tempat duduk. Perhatiannya tertuju ke bawah lampu redup dengan meja bundar kecil di hadapan. Ia sedikit risih, ciri khas orang yang tidak terlalu suka keramaian. Kelihatan sekali ia berusaha untuk menghormati diriku yang sudah mengajaknya ke sini.
"Apa mereka tidak punya aktivitas lain selain menongkrong setiap hari di sini?"