Kapan terakhir kali aku melihat senyumnya? Mungkin setahun yang lalu di saat ia dengan sengaja menyingkapkan rambut panjangku ke belakang telinga. Cahaya terang lampu keramaian dan orang-orang yang duduk sama sekali tidak mempedulikan kami. Kami seakan seperti planet bebas tanpa berpusat pada apa pun, hiruk pikuk itu menjadi sunyi dan tidak berbunyi sama sekali. Ia dan diriku bersama saling menatap sembari menyadari betapa indahnya cinta ini.
Hingga pada akhirnya ia hilang, sirna dari tatap mata dan rengkuh peluk yang selama ini ia nikmati. Munafik sekali sebagai manusia, kurasa. Segala rasa bahagia dari kebersamaan yang aku beri, ternyata bukan berarti apa-apa baginya. Aku hanyalah sampah yang dibuang tanpa tempatnya. Melayang-layang di tepi jalanan tatkala angin menerpa hebat, lalu terjerembab di liang sisi jalanan yang berisikan air. Aku pun mengalir di sana, mengikuti arus cuaca musim dingin yang penuh oleh hujan nestapa. Kesempatan untuk diriku berhenti pun tiba, hanya saja terjebak di antara kedua belah batu yang tidak memberiku kesempatan untuk kembali naik.
Merry menepuk telungkup tanganku. Aku menoleh ke kanan tatkala tatap mata lebarnya memperingatiku untuk tetap fokus di jalanan kota. Momen ingatan beberapa detik yang lalu kembali membuatku muak, hingga tidak memerhatikan apa yang sedang terjadi di sekitar.
"Kau mengemudi seperti orang marah," ucap Merry.
Aku menoleh ke belakang. Rhea dan Nusa masih menutup mata. Ia tadi kami temukan sedang tidur terlentang di pondok bambu belakang. Sepertinya mereka mengerjakan proyek itu sepanjang malam hingga bangun kesiangan. Tanpa mandi dan sarapan, kami segera membopong mereka ke dalam mobil.
"Sebaiknya kau bangunkan mereka karena kita akan segera sampai di lokasi yang dituju," balasku.
"Ada sesuatu yang kau pikirkan?" tanya Merry.
"Aku hanya memikirkan bagaimana cara selesai administrasi pendaftaran wisuda agar aku tidak lagi membayar kuliah."
Merry tertawa kecil.
"Tidak perlu kau pikirkan, lakukan saja sebagaimana orang lain. Jika kau harus membayar, aku yang akan membayarkannya."
Aku menoleh padanya. "Kau bukan orangtuaku."
Tanganku memutar setir mobil ke kanan yang merupakan jalanan tujuan kami. Jalanan ramai oleh para pekerja kota dan penjaja makanan murah tepi jalan. Arah mataku bergerak menuju asap kendaraan yang sesak. Ibu-ibu tanpa helm yang membawa pulang anak sekolah terlihat menghindari dengan memotong kendaraan tersebut. Keramaian ini tidak cukup lengkap oleh dentingan klakson yang tidak sabaran. Belum lagi trotoar yang bukan bekerja sebagaimana mestinya, pejalan kaki pun mengangkat kakinya lebih hati-hati. Kondisi kota yang harap maklum ketika dilihat.
Jalanan cukup padat, aku sulit untuk memutar arah sehingga aku pinta Merry memerhatikan setiap gedung agar aku tidak memutar dua blok jalan lagi. Merry dengan seksama memerhatikan gedung demi gedung, sesuai dengan alamat yang tertera di dalam surat. Ia memintaku untuk memperlambat jalan mobil. Tangannya tiba-tiba menepuk pundakku sebagai pertanda untuk menepi.
"Nusa, apa kau yakin jika alamat ini benar?"