Ruangan gelap ini mengingatkan bagaimana sebuah rumah tua yang sering kami masuki ketika kecil. Rumah peninggalan belanda yang masih tersisa, lalu terbengkalai puluhan tahun tanpa pernah dimasuki oleh orang lain, terkecuali oleh kami di masa kecil. Para orangtua sering kali melarang kami memasukinya dikarenakan ada rumor jika rumah itu berhantu, tetapi anak kecil mana yang mematuhi peraturan itu. Alih-alih kami takut dengan cerita tersebut, kami malah menantang untuk mencari keberadaan makhluk tersebut.
Persis seperti sekarang ini. Kami berjalan mengendap-ngendap dengan mengikuti arah cahaya senter yang menerangi jalan kami. Cahaya luar sedikit sekali yang dapat masuk ke dalam dikarenakan jendela yang sudah diblokade. Setiap kali kaki melangkah, semakin berterbangan debu yang ada. Rhea terbatuk beberapa kami sembari menutup hidungnya dengan kerah bajunya.
"Bangunan ini benar-benar sudah lama ditinggalkan," ucap Rhea sembari menyeteri dinding.
"Sayang sekali terbengkalai, seharusnya bisa digunakan kembali," balasku.
Sepanjang dinding kami melihat informasi-informasi kesehatan khas sebuah klinik kesehatan. Terdapat informasi mengenai influenza dan penyebarannya, periode yang tepat untuk pemeriksaan ibu hamil, informasi tahapan SOP pemeriksaan, serta banya informasinya. Meskipun sudah ditinggalkan sejak lama, sususan perabotan masih tersusun dengan rapi. Lemari resepsionis pun masih menyimpan berkas-berkas pasien.
"Ada banyak dokter yang praktek di sini."
"Apa kau melihat nama Sina?" tanyaku.
Ia menelusuri setiap nama dokter yang ada. Beberapa di antaranya merupakan dokter spesialis. Mata kami sama-sama tertuju pada sebuah nama, yaitu nama yang sedang kami cari.
"Ibnu Sina ... benar, ia pernah praktik di sini." Rhea menoleh padaku. Aku hanya mampu melihat binar cokelat pupil matanya yang terpantul oleh cahaya senter.
"Alamat itu memang benar. Sayang sekali Nusa tidak pernah membalas surat itu. Padahal, alamatnya sudah terpampang jelas."
"Apa yang kau harapkan dari orang yang tidak bisa baca tulis?" tanyaku.
Aku mengangkat kedua bahuku. "Benar juga, Nusa juga tidak tahu tujuan surat itu."
Kami sama-sama tertawa. Kemudian, gadis itu menarikku untuk menelusuri lantai dua. Aroma kotoran tikus tercium dengan jelas, seperti gudang belakang rumahku di desa. Ia menghindari kotoran-kotoran tikus yang banyak berserakan di sepanjang tangga. Bunyi decit dari binatang pengerat terdengar ketika kami menginjak anak tangga terakhir. Mereka lari ketakutan oleh cahaya senter yang mengenai.
Aku melihat sebuah meja bundar. Kemungkinan digunakan untuk pertemuan dan rapat. Empat buah kursi berbusa mengelilingi saling berseberangan. Tatkala jemariku menyentuh permukaan meja, maka terbentuk sebuah garis debu yang jelas. Tidak ada yang kami dapati dari dinding sebagaimana lantai bawah, tetapi kami melihat sebuah dinding kaca yang membatasi sebuah ruangan.
Rhea kembali terbatuk ketika ia membersihkan debu di dinding kaca, lalu melihat ruangan yang ada di dalam sana. Cukup lama ia berusaha mengidentifikasi apa saja yang ada di sana, hingga ia berakhir dengan menyentuh kursi.
"Mundur ... atau kau yang melakukannya," ucap Rhea dengan tegas. Aku sudah tahu maksudnya, yaitu menghancurkan kaca tersebut. Tentu saja aku ragu dengan diam saja tanpa menjawab. "Baiklah ... aku yang melakukannya."
Aku mundur dua langkah. Gadis hutan itu mengangkat kursi dan melemparkannya dengan sekuat tenaga. Namun apa yang aku lihat, kursi itu bahkan tidak sampai menyentuh dinding kaca. Aku tertawa terbahak-bahak melihat wajahnya yang padam. Bahkan, dirinya saja ragu untuk melakukannya.
"Kau ini besar suara saja, tapi kau sendiri ragu." Aku mengambil alih kursi. "Biar aku saja."