Edge of the Jungle

JAI
Chapter #28

28

Seni bukanlah mengenai sesuatu yang indah, melainkan bagaimana penyampaian pesan. Bisa jadi suatu seni itu dikatakan secara estetika tidak bagus, tetapi mampu menyadarkan banyak orang mengenai pesan yang terkandung di dalamnya. Orang-orang mengangkatnya sebagai mahakarya, lalu dikenang sepanjang masa. Maka benarlah Rhea berkata jika seni itu bahasa universal dalam berkomunikasi.

Aku bukanlah seseorang yang berkutat sehari-hari dengan seni, melainkan pria biasa-biasa saja yang menghabiskan waktu dengan hal tidak berguna. Entahlah, apakah menghabiskan waktu dengan teman-teman itu merupakan sesuatu yang berguna atau tidak, tetapi bagiku lebih tidak produktif saja selain mendapatkan hiburan. Semenjak berteman dengan wanita itu, aku mulai mengerti arti seni yang selalu ia ajarkan padaku.

Cahaya berdiri di tengah hutan berupa tumpukan kayu unggun kecil tempat Nusa membakar ikan hasil buruan tadi siang. Pria itu telah belajar banyak Reira bagaimana memancing dengan umpan cacing bakau, sesuatu yang tidak akan bisa ia dapati jika seumur hidup memasung diri di atas bukit desa. Merry mengeluh jika di sini terlalu banyak nyamuk, ia biasa nyaman dengan hunian mewahnya. Sedangkan Reira, menutup mata sehabis meneguk segelas kecil vodka.

"Sudahlah Rhea ... kau bisa mabuk berat malam ini," larangku padanya.

"Kau bukan ayahku, jadi jangan melarangku," ucapnya sembari menyingkirkan tanganku dari gelasnya.

Ada banyak kebaikan yang aku lihat dari Rhea, tetapi tidak dengan urusan minum. Ia peminum yang buruk, melebihi aku dan Merry. Sedangkan Nusa, ia menolak keras untuk minum alkohol. Kami menghormati itu.

"Jadi benar kalau Sina berhubungan dengan ayahmu, Rhea?" Nusa berjongkok di hadapan Rhea.

"Benar ... teman kecilmu itu punya hubungan dengan ayahku. Aku tidak tahu hubungan Sina dengan kantor firma hukum tersebut, tetapi ada indikasi jika ayahku memiliki hubungan," balas Rhea.

"Merry, kau punya kenalan dengan orang-orang firma hukum?" tanyaku.

Tangan Merry menepuk betis. Wajahnya tidak senang dengan nyamuk yang semakin banyak menyerbu. Ia bahkan meminta Nusa menghebuskan asap rokok di sekitarnya, padahal selama ini ia sangat membenci asap rokok.

"Aku punya banyak teman dari jurusan hukum, tetapi bukan dari kalangan firma hukum. Tapi, aku punya kenalan dari anggota ikatan dokter. Salah satu penghuni perumahan di tempatku."

Wajah Rhea berubah sinis. "Kenapa kau tidak bilang dari awal. Aku dan Mahatma tidak perlu masuk ke dalam gedung tikus itu."

"Kau tidak bertanya, tentu aku tidak menjawab. Sederhana saja ...."

"Kita bisa bertanya tentang Dokter Sina padanya?" tanyaku.

"Aku rasa bisa. Dia merupakan petinggi ikatan dokter. Pasti akan dapat informasi."

"Aku butuh informasi itu dua hari ini, setelah itu kita berburu pria itu," sahut Rhea dengan cepat.

"Jangankan dua hari, pagi besok akan aku pinta datanya."

"Baiklah ... aku mengandalkanmu."

Merry berpamit karena sudah terlalu larut malam, mamanya sedang berada di rumah sekarang. Satu hal yang membuat kami tidak jadi menongkrong di sana, terutama Rhea yang melarang keras bagi kami untuk merepotkan orangtua dari Merry, meskipun Merry keras untuk mengajak kami ke rumah.

Hanya aku yang dilarang pulang oleh Rhea. Ia menuangkan vodka ke gelas, lalu menawarkannya padaku. Padahal, perutku sudah menolak untuk diisi oleh alkohol kembali.

Lihat selengkapnya