Bayangkan saja, ia sama sekali tidak pernah mengenal, bahkan bertemu pun baru pertama kali. Rhea menyerangnya dengan telak tepat di perut, hingga pria itu mundur karena kesakitan. Suara tegas Rhea keluar sembari menunjuk pria bernama Tomy tersebut. Aku dengan segera menghampirinya dikarenakan Tomy ingin menyerang balik. Bagaimana tidak menyerang balik jika ada seseorang menyerang begitu saja.
"Tomy, hentikan!" ucap Yuri sembari membuka gerbang pagar rumah.
Aku tatap wajah Tomy. Jika ini merupakan masa lalu, sudah sejak lama ia ingin aku habisi dengan tangan ini. Untuk pertama kalinya sejak hari-hari itu berlalu, aku ingin menyelesaikan keinginanku dahulu.
"Kau Tomy, pria bajingan yang tidak tahu diri. Sudah kau rebut wanita ini dari temanku, sekarang kau buang dia seperti sampah yang tidak berguna. Pria macam apa kau ini!"
Siapa sangka yang mengatakan hal tersebut merupakan Rhea.
"Kau siapa? Jangan ikut campur dengan urusanku." Tatapan Tomy mengarah pada Rhea.
"Turunkan telunjukmu," ucapku padanya. "Untuk apa kau kembali lagi?"
"Itu bukan urusanmu!"
"Urusan Yuri juga urusanku sekarang. Kau mau apa lagi?"
"Hah? Sekarang kau pacarnya dia? Dia bahkan belum resmi bercerai dariku."
"Bodoh ... kalau kau sudah ucap cerai, itu bahkan kau tidak boleh lagi menyentuhnya. Apa kau tidak belajar semasa sekolah?" balasku.
Ucapan itu membuatnya mundur perlahan sembari mengucapkan sumpah serapah kepada diriku dan Yuri. Ia bahkan menghina fisik Yuri yang berubah total semenjak menikah, tidak seperti Yuri yang cantik jelita sebagaimana dikenal ketika masih kuliah.
Pertemuan malam ini ditutup dengan senyum Yuri di ujung pintu. Ia melambai kepada kami berdua untuk melepas pergi. Ucapan terima kasih tidak luput ia ucapkan kepada diriku yang sudah mau mengunjunginya. Aku pun mengatakan tidak lagi perlu mengucapkan kata maaf padaku karena semua itu merupakan masa lalu. Ia masih bisa berteman denganku dengan baik. Bahkan, Rhea memberikan nomor ponselnya jika sewaktu-waktu Yuri membutuhkan pertolongan.
Rhea membawaku ke sebuah tempat di kawasan tepi pantai, berupa tempat wisata kawasan bukit yang langsung mengarah ke arah bukit. Tempat tersebut sudah tutup, tetapi Rhea mengenal pengelolanya dengan baik. Beberapa kali ia menjalin kerja sama kerajinan rotan bersama pengelola tempat tersebut.
Ia turun lebih dahulu, lalu naik ke bak belakang. Sembari membuka kotak rokokku, ia bersender di belakang kabin.
"Kau akhir-akhir ini sering merokok? Apa yang sedang terjadi?"
"Aku sudah merokok bahkan sebelum kau pertama kali menghisapnya. Di tengah hutan itu terlalu banyak nyamuk, jadi aku sering membakar rokok."
Aku duduk di sampingnya. Pemantik api berbunyi dari tangah Rhea, lalu kami sama-sama membakar ujung tembakau.