Kepulauan Jauh merupakan kawasan gugusan pulau yang terdiri dari banyak pulau-pulau kecil. Salah satu pulau terbesar yang dijadikan tempat bermukim masyarakat setempat ialah Pulau Besar itu sendiri. Masyarakat yang bergantung dengan komoditas laut dan wisata itu sudah bertahan dari gerusan kapitalisme. Sejarah telah mencatat masa kelam mengenai perlawanan terhadap eksploitasi timah di sana. Aku mengetahuinya dari mata pelajaran geografi semasa sekolah dan sama sekali belum pernah ke sana sebelumnya.
Setelah semua persiapan lengkap, Rhea memaksa kami untuk tidur di kediamannya dikarenakan kami akan berangkat ke Pulau Seberang sebelum matahari terbit. Kenalan Rhea di Pulau Seberang sudah mempersiapkan sebuah kapal untuk kami berangkat ke sana. Aku sempat ragu jika Rhea yang akan memimpin pelayaran ke sana karena akan menempuh empat jam perjalanan kapal. Namun, Rhea berkata jika kami akan ikut dalam iring-iringan kapal pengangkut bahan makanan yang akan berlayar di waktu yang sama.
"Kau ingin pergi ke Bali?" sindir Rhea kepada Merry yang seperti orang ingin pergi berliburan.
"Kenapa memangnya?" Ia mengakut koper dan satu tas bermerk yang ia punya.
"Tidak ada, seharusnya aku bisa memungut biaya bagasi untuk barang berlebih."
Memang, Merry sedikit lebih banyak membawa barang. Sedangkan kami, hanya membawa beberapa pasang pakaian dan alat mandi seadanya.
Bunyi mesin motor perahu berbunyi. Nusa meminta kami untuk naik berhati-hati karena hanya satu sorot senter yang menjadi penerangan. Setelah semuanya baik, barulah perahu bergerak perlahan melawan angin dingin subuh hari. Hampir mendekati dermaga kayu Pulau Seberang, seseorang menyalakan sorot lampu senternya kepada kami. Keadaan gelap cukup menyulitkan Nusa untuk menepikan perahu, hingga harus digantikan oleh pemilik murninya, yaitu Rhea. Perahu pun merapat, satu per satu dari kami naik ke atas dermaga sembari disambut oleh seorang pria tua berjaket kulit.
"Rhea!" Ia melebarkan tangannya. "Sudah lama sekali kau tidak berkunjung ke sini. Ingin sekali aku buatkan rudal dan menghantam rumahmu di hutan itu. Sombong sekali."
"Bung Bahri!" Ia memeluk pria tersebut dengan hangat. Aku tidak menyangka mereka sedekat itu. "Aku terlalu sibuk melawan penguasa, makanya tidak sempat datang ke sini. Perkenalkan ini, semuanya teman-temanku. Mereka harus gratis kalau mau berlibur ke pulaumu, Bung!"
"Salam semuanya. Panggil saja aku Bung Bahri. Aneh saja masih ada orang zaman sekarang yang masih memakai panggilan 'bung'."
Aku menyambut tangannya untuk bersalaman. "Izinkan kami untuk menggunakan kapalmu, Bung."
"Tidak apa-apa, Rhea ini temanku. Jika tidak karena dirinya, aku mungkin sudah tidak hidup sekarang."
"Ceritakan, Bung. Dari kemarin mereka penasaran kenapa aku begitu kenal denganmu," sambung Rhea.
Sembari berjalan, kami diceritakan bagaimana mereka berkenalan untuk pertama kali. Pada saat itu, Bung Bahri sedang berlayar arah pulang bersama dua anak buahnya. Namun, terjadi ledakan yang disebabkan oleh bocornya gas kompor. Kebakaran itu semakin membesar dan hampir membuat mereka tenggelam. Sebesar apa pun usaha mereka untuk berteriak minta tolong, tidak akan ada satu pun orang yang mendengar. Tidak adanya flare semakin membuat sulitnya meminta pertolongan. Beruntung pada saat itu Rhea sedang berkeliling untuk menangkap ikan dan menampak objek terbakar melalui teropongnya. Akhinya Rhea dengan sigap ke sana dan menyalakan flare yang ia punya sehingga pihak dari pangkalan laut militer menangkap sinyal yang ia kirimkan. Akhirnya, api bisa dipadamkan dan kapal berhasil ditarik menuju tepian.
Mata tetap terjaga hingga Bung Bahri memanaskan mesin kapal. Kantuk kami bawa berdua bersama Nusa untuk mengangkati barang bawaan menuju kapal nelayan pinjaman dari Bung Bahri. Terdengar arahan dari Bung Bahri kepada Rhea yang akan menjadi kapten sementara dari kapal ini. Aku tidak tahu seberapa berpengelamannya Rhea mengemudikan kapal, tetapi Bung Bahri sempat menjelaskan jika Rhea pernah membawa kapal ini untuk memancing di tengah laut.