Cahaya menyelinap masuk melalui celah antara dua buah kelopak, senyap menembus bola mataku yang perih oleh angin laut. Napasku menari pelan menghirup segarnya udara pagi. Kicauan burung berganti dengan gemuruh ombak yang menghiasi sekelilingku. Alunan ombak bergantian menepis tepian kapal, aku sedikit berpegang pada kayu samping. Tenang rasanya hati yang berkecamuk oleh rasa cemas, dihantam oleh banyak kekhawatiran yang bahkan sama sekali tidak aku ketahui akarnya dari mana.
Aku berharap akan ada suatu masa di mana kecemasan ini berakhir, tidak lagi membayang-bayangi diriku yang sendiri. Ingin aku telusuri di mana itu berasal, aku hanya menghadapi tembok tinggi yang sama sekali tidak bisa aku tembus, bahkan enggan untuk aku lompati. Akar yang kucari bagaikan hantu, menghilang dan meninggalkan rasa penasaran di mana ia berada. Jika aku mengetahuinya, ingin rasanya aku tusuk berkali-kali dan membunuhnya agar ia mati.
Rhea tersenyum padaku. Raut wajahnya cerah, jauh dari kata kantuk. Energinya seakan-akan tidak pernah habis dan selalu terisi. Aku sebenarnya paham jika ia menyimpan kecemasan sama halnya padaku, tetapi dalam masalah yang berbeda. Ia mampu menyikapinya dengan bijak, tidak seperti diriku yang selalu berlarut. Kehidupan telah membentuknya untuk menjadi seperti itu. Kesendirian, kekhawatiran, kesedihan, dan kehampaan sudah makanan baginya dan bahkan ia memburunya untuk diri sendiri.
"Mahatma!" panggil Rhea dari ruang kemudi.
"Apa lagi? Aku sudah membuatkanmu teh hangat."
Sebenarnya aku masih kesal olehnya yang berteriak meminta dibuatkan the.
"Daripada kau bermenung di sana, lebih baik kau bantu Merry memasak."
"Nusa akan membantunya, aku kurang pandai memasak. Jika aku ke sana, hanya mengganggu saja," balasku.
Ia menatapku sinis. "Lakukan apa yang kau bisa."
"Bermenung adalah keahlianku."
Ia diam sejenak, lalu beralih pandangan ke depan.
Deru ombak beriring dengan suara Rhea yang memerintah. Ia tidak henti-hentinya meneriaki Nusa yang selalu saja menuruti apa kata majikannya itu. Baginya, perjalanan Rhea merupakan jalan untuk menemukan sahabat kecilnya, Sina. Oleh karena itu, ia begitu sungguh untuk menempuh perjalanan ini hingga tujuan tercapai.
Empat jam sudah kapal menembus lautan. Lambaian tangan kami tertuju untuk melepas rombongan kapal ikan yang hendak menuju perburuannya. Kami memulai perjalanan sendiri di lautan yang tidak bertepi. Rhea sibuk membolak-balikkan peta yang berisikan catatan-catatannya mengenai lokasi Pulau Besar. Hanya dirinya yang mampu membaca peta dan memainkan alat kompas. Oleh karena itu, Merry tidak bisa marah Ketika Rhea merokok di ruang kemudi.
"Mahatma Gandi, coba lihat ini." Ia menyerahkan padaku sebuah teropong. "Arah jam dua belas, tepat lurus dari kedua bola matamu."
"Kau melihat peri duyung?"
"Tentu saja memakai bikini."
Kalimatnya memulai aksiku untuk melihat apa yang sedang ia dapat dari teropong tersebut. Pandanganku menangkap pemandangan pepohonan tepian pantai dengan kapal-kapal nelayan yang sedang bersandar pada dermaga. Meskipun aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, aku masih memerhatikan aktivitas masyarakat di sana berupa hilir mudik kendaraan roda dua. Benar sekali, aku menangkap pemandangan sebuah pulau.
"Setengah jam lagi kita sampai di sana," ucap Rhea.
"Benarkah? Aku kira ke sana lima belas menit lagi."
"Tidak dengan kapal butut ini."