Edge of the Jungle

JAI
Chapter #33

33

Perlawanan merupakan salah satu kata yang tergambarkan dari sejarah umat manusia. Permulaan perlawanan entitas jahat terhadap tuhan dalam kitab agama abrahamik, serta berlanjut melawan alam yang sama sekali tidak bertuan. Penaklukan demi penaklukan terjadi secara pasti hingga membentuk kemajuan. Apa yang kita lihat sebagai budaya, seni, industri, pemikiran merupakan hasil akhir dari segalanya itu. Manusia yang mampu berpikir itu pun berkembang maju.

Satu hal yang aku tatap dari tubuh kecil wanita berbau keringat itu ialah perlawanan. Sebut saja kapan terakhir kali ia menjadi penurut, aku rasa tidak pernah. Saranku saja sering ia tepis mentah-mentah oleh logikanya, meskipun aku tahu jika secara intelektual ia pasti lebih cerdas dariku. Hanya dirinya dan Tuhan yang mampu untuk menundukkannya.

Kami berada di tengah perlawanan tersebut. Kami mempertahankan hal yang sepatutnya untuk dipertahankan. Gadis itu enggan direbut walaupun hanya sejengkal, bahkan sejari pun ia tidak mau. Kepemilikan bukanlah satu-satunya yang ia perjuangkan, tetapi ada hal yang lebih penting dari itu. Terdapat kenangan bersama keluarganya yang dihina, jantung kota dengan segala sumber oksigennya, serta tempat bernaung hewan yang selama ini bersarang di sana.

Sementara Merry dan Nusa berbelanja ke pasar untuk bahan makan malam, aku dan Rhea sibuk menyisir tepian pantai setelah membantu istri Kepala Desa untuk mengangkat kayu bakar.

“Aku mendapatkan informasi jika rombongan dokter belum berada di desa. Jadwal mereka tertunda karena ada kegiatan ke desa lain,” ucap Rhea dengan kesal. Ia melemparkan batu sejauh mungkin ke tengah laut."

“Kita bisa apa jika faktanya memang begitu. Mungkin kita harus menunggu lebih lama lagi di sana. Aku tidak masalah dengan itu. Pak Yoyon kelihatan baik kepada kita,” balasku.

“Aku juga berpikir menjual Nusa kepada warga desa agar kita bisa dapat uang bertahan hidup.”

“Kau kira Nusa itu budak?” tanyaku ketus.

“Terkadang aku berpikir begitu.”

Gadis psikopat itu berlari dan melompat seperti seorang atlis lompat lari, lalu mendarat di atas pasir. Ia menantangku dengan keras untuk melakukan hal itu, tetapi aku terlalu pintar untuk tidak mengikuti ajakan bodohnya.

“Kita bisa melihat-lihat ke puskesmas. Aku rasa ada orang yang bertugas di sana. Kau tidak tertarik?”

Mulutku tidak tahan untuk berdiam. Sejumlah pasir ia hamburkan di hadapanku.

“Aku lebih tertarik dengan warung kopi.”

“Kopimu selalu jalan, sayangnya logikamu tidak,” balasnya dengan ketus.

Lihat selengkapnya