Sebenarnya apa nilai dari seorang manusia? Apa hanya makhluk hidup yang diberikan kemampuan untuk mengolah alam? Jika defenisi itu digunakan, maka benarlah para penebang hutan ilegal yang menjarah hutan masyarakat adat. Jika kita berdefenisi jika manusia yang bernilai ialah manusia yang mampu menolong sesama, maka benarlah penjajahan atas dasar tanah yang dijanjikan oleh Tuhan bagi salah satu umat agama samawi, bukankah mereka menolong untuk sesama mereka?
Solusi pertama bertahan dari defenisi 'nilai' itu sendiri. Apakah 'nilai' itu merupakan baik dan buruk atau benar dan salah. Bagi Rhea, manusia itu bukan mengenai benar dan salah, melainkan baik dan buruk. Ego manusia terlalu besar untuk berdebat mengenai benar dan salah, sehingga ia memilih kepada baik dan buruk. Bisa jadi suatu tindakan itu benar bagimu, bukan berarti itu baik bagimu. Sebaliknya, bisa jadi suatu tindakan itu salah bagimu, bukan berarti itu buruk bagimu.
Pertanyaan itu berdengung terus menerus pada ujung tidur tatkala Nusa yang kosong otaknya itu dicecar oleh Rhea. Ego menjadi sebuah hal absurd bagi Rhea tatkala memandang dunia yang mulai tidak karuan ini. Ia berkata manusia hanya mengikuti ke mana arah baik dan buruk itu. Manusia yang bernilai ialah mereka yang mampu untuk memaksimalkan potensi egonya untuk hal yang baik, meskipun itu sebenarnya merupakan jalan yang salah.
Gelap memang, kita bisa saja membenarkan hal yang salah untuk kebaikan dari diri manusia. Peperangan merupakan hal yang salah atau dasar apa pun itu, tetapi manusia perlu berperang satu sama lain untuk kebaikannya sendiri. Begitulah dunia berjalan dengan segala keseimbangannya. Bahkan, ketidakadilan menurutnya merupakan sebuah bagian dari keseimbangan itu sendiri. Bagaimana pula kita mampu merasakan hal yang adil jika defenisi ketidakadilan itu tidak mampu kita temukan sendiri.
Itulah Rhea, kurasa kecubung belakang rumahnya terlalu banyak dijadikan sayur untuk makan malam.
Dua hari di Pulau Besar menambah pengalaman hidupku berdampingan dengan masyarakat tepian pantai yang bergantung hari dengan hasil laut. Ikan merupakan makanan utama di sini dan terik matahari sudah menjadi payung dalam sehari. Memilih untuk melambatkan tempo kehidupan menjadi makananku untuk sementara, sejenak aku bisa menenangkan pikiranku dari cepatnya peradaban zaman. Aku tidak akan melupakan bagaimana hari-hariku di sini.
Sehari penuh telah dihabiskan untuk membantu nelayan mengangkut ikan ke pasar untuk menambah uang biaya makan. Para wanita menghabiskan waktu di dalam rumah untuk memasak makanan malam atau pun mencuci pakaian busukku dan Nusa. Penat seharian pun dibalas ketika lelap tidurku terjatuh di ujung bantal. Dingin angin laut malam bukanlah masalah di tengah kantuk yang teramat sangat.
Jemari tengah kakiku terasa dicabut oleh seseorang. Aku dibangunkan oleh Rhea yang sedang berpakaian tebal. Ia meletakkan jemarinya di ujung bibir agar aku diam dan mengikutinya. Wajahnya memaksa tanpa kata-kata, aku tidak mampu untuk menolaknya sehinga mengikutinya dari belakang menuju tepian pantai. Seperti seorang maling di tengah malam, kami bersembunyi di balik semak memerhatikan sekelompok orang yang baru saja turun dari kapal.
Gelap yang jatuh di antara sinar rembulan hanya memberikan sedikit gambaran atas siapa yang sedang datang. Rhea hanya diam tanpa memberikan penjelasan.
"Sebenarnya apa maksudmu untuk mengajakku ke sini?"
"Dokter-dokter itu, aku yakin itu mereka," balasnya.
"Kau tidak perlu menyelinap begini untuk menemui mereka."
Ia menoleh padaku. "Kau kira Profesor Zarathustra tidak mengantisipasi atas orang-orang terdekatnya? Dokter Sina itu akan menghilang jika tahu aku mencarinya. Aku sudah memprediksi itu."
"Hey, Profesor Zarathustra itu ayahmu. Kenapa ia malah menghalangimu?" tanyaku balik.
"Jika selama ini ia benar-benar ada, kenapa ia tidak menemuiku saja secara langsung? Logika sederhananya begitu. Ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan dan aku secara pasti menebaknya hanya untuk melindungiku dari musuh-musuh politiknya."