"Temui aku sore hari esok di dermaga setelah jam dinas."
Hanya kata itu yang dapat kami dengar dari Dokter Sina yang enggan untuk melanjutkan percakapan. Rhea masih membawa perasaan tidak puas padaku. Berkali-kali gadis itu hanya bisa menggerutu tidak jelas sembari melempar kerikil ke mana saja. Aku takut jika ia akan melempari anak hantu semak belukar yang akan membuatnya demam esok hari. Namun, hal itu hanya menjadi bualan belaka jika aku sampaikan padanya.
Sepanjang hari Rhea hanya berdiam diri di rumah. Ia banyak duduk di teras sembari merokok tanpa tahu malu jika ia sedang dilihati oleh para warga desa. Ia sedang tidak sabar dengan Dokter Sina, terlihat dari gestur tangannya yang tertutup dan kakinya yang tidak henti bergetar. Ia hanya menjawab kalimat dari Merry untuk memintanya makan dan mandi. Sementara aku dan Nusa hanya didiamkan saja, meskipun hanya meminta rokok sebatang.
"Kau apakan dia tadi malam? Apa kau menggoda gadis lain?" tanya Nusa.
"Tidak, kami hanya menemukan orang yang selama ini kau cari. Tapi, dia enggan memberikan jawaban."
"Benarkah?" Ia memegang kedua pundakku. "Kau menemukan Sina?"
"Kami tidak mungkin salah," balasku. "Ia mengatakan jika Profesor Zarathustra telah mati."
"Pantas saja ia seperti itu sepanjang hari. Kau ada Solusi?"
Aku menggeleng.
"Tidak ada, kecuali ia akan menemui Sina sore ini di dermaga," balasku.
"Aku akan ikut. Aku tidak sabar untuk melihat wajahnya lagi."
Senja jatuh pada kemuning langit tempat mentari hampir menyembunyikan diri. Sungguh lembut angin yang menyapa, beriringan dengan ombak yang enggan kalah untuk menyapu pasir tepian. Pandanganku jatuh ke beberapa anak yang berlari di kayu dermaga, lalu menyeburkan diri dalam riak air laut nan biru. Rhea di sana untuk menyapa mereka, tetapi anak-anak tersebut terlalu takut kepada orang asing.
Anganku menjadi satu dalam tatapanku pada Rhea. Begitu semangatnya gadis berkulit cokelat itu untuk menemui satu kepingan-kepingan langkah menuju ayahnya. Separuh hatiku hampir benar-benar mengira jika beliau sudah wafat sebagaimana orang lain katakan. Sebagian lainnya pun menolak ketika aku melihat asa Rhea yang tetap yakin untuk menemuinya.
Bertemu dengan ayahnya bukan sekadar masalah personal keluarga, melainkan ada hal yang lebih dari itu untuk dipertahankan. Terdapat harga diri atas tanah yang ia perjuangkan, sebuah warisan yang dititipkan oleh ayahnya untuk dijaga. Jantung kota tempat hutan bernaung akan hilang jika ia berdiam diri. Hijau akan kalah oleh abu-abu beton jika ia melepaskan. Jiwanya enggan mengalah untuk para kapitalis yang ingin merebutnya.
Pria itu datang dengan jas putih khas dokter. Aku berharap ia masih memakai stetoskop, tetapi itu akan aneh jika dibawa terus menerus berkeliling dengan. Bukan Rhea yang menghampirinya duluan, melainkan seorang sahabat yang telah lama ingin bertemu, yaitu Nusa.