Tepian hari memisahkan ujung kapal dan terpian dermaga. Lambaian Dokter Sina tergambarkan dalam siluet hitam yang membelakangi cahaya kemerahan langit. Kapten kapal dengan percaya diri menghidupkan terompet pertanda kami akan berangkat. Lampu kapal di depan menjadi petunjuk bagi kami untuk pulang. Kapal tersebut merupakan kapal penumpang yang akan kembali menuju tepian kota.
Tujuan menemui orang yang kami cari terlaksanakan sudah. Informasi pun turut didapatkan, meskipun tidak sesuai dengan harapan. Aku yakin wanita di kabin kapal itu sudah memikirkan strategi selanjutnya untuk menghadapi sesuatu yang lebih besar. Lawannya bukalah sesuatu yang lemah, melainkan kapitalis besar serta yayasan kampus yang turut mengambil keuntungan dari tanah tersebut.
Sidang putusan tanah semakin dekat. Profesor Zarathustra belum juga ditemukan sebagai kunci untuk memenangkan pengadilan. Sementara itu, pihak lawan pasti sudah menang selangkah untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Keberadaan bapak tua pembawa paham kiri itu masih menjadi teka-teki. Jika ia sudah mati, maka Rhea bertekad untuk menemukan makamnya. Namun, aku mempunyai pendapat jika Profesor Zarathustra tidak mungkin dimakamkan secara layak. Sudah pasti ia mati dan hilang tanpa jejak jika hal itu benar-benar terjadi.
James, anjing Rhea berwarna putih itu berlari saat aku keluar dari semak belukar. Rhea memintaku untuk mengumpulkan kayu bakar untuk memasak nanti malam. Sina belum sempat melakukannya karena harus menjual kerajinan rotan kepada pengepul. Rhea tidak dapat aku temukan ketika aku memasuki rumah. Aku pun memeriksanya ke ruang bawah tanah yang pernah menjadi tempat aku dan Merry disekap oleh gadis itu. Gadis itu terlihat sibuk di meja kerja dengan kacamata bulatnya.
“Sebenarnya apa yang kau rencakan?”
Aku melihat kertas besar layaknya sebuah cetak biru. Terdapat denah sebuah bangunan yang tergambarkan rapi beserta ukurannya. Denah itu berdampingan dengan rumus angka yang sama sekali tidak aku pahami.
“Kau lihat denah ini, kau tahu apa ini?” tanya Rhea.
“Entahlah, aku tidak mengetahui bangunan apa ini. Dari mana kau dapatkan?”
“Ini denah bangunan rektorat. Aku mendapatkannya dengan mudah dari perpustakaan jurusan teknik sipil.”
Aku mengangguk pelan.
“Jadi, buat apa denah rektorat? Kau ingin mengkritik tata bangunannya?”
“Tidak … aku hanya memperhitungkan bagaimana jika sebuah drone dalam kecepatan tertentu bisa masuk ke dalam rektorat tanpa diketahui pada malam hari. Ternyata, sinyal drone tidak bisa berfungsi jika ia terhalangi oleh tembok. Tembok ini terlalu tebal. Aku hanya bisa memperkirakan di mana letak kantor rektor.”
Pikiranku berusaha menebak apa yang sedang ia rencakan. Tanganku menarik kursi kayu di samping dan duduk untuk memerhatikan apa yang kertas besar itu gambarkan.
“Aku tidak mengerti apa yang sedang kau rencanakan. Apa ini rahasia?”