Setiap tangan mengangkat atas nama perjuangan. Teriakan dan seruan perlawanan menjadi seruan utama di bawah terik mentari yang membakar kulit hingga tulang. Cahaya menerpa setiap tangan yang menyegel setiap aktivitas kapitalis itu. Satu orang gagah berani menunjuk musuh seakan enggan untuk mati dan dicari. Orang itu ialah Rhea, gadis kecil berkulit gelap yang bersuara lantang menyerukan semangat.
Media menyerbu lokasi aksi tidak lama setelah Rhea berorasi. Kamera menyorot ke sana kemari, memberikan liputan aktual mengenai kejadian hari itu. Mahasiswa yang tidak ingin kehilangan momen pun turut memberitakan aksi melalui media sosial. Informasi begitu cepat melesat di setiap ujung jemari pengguna internet. Berbagai kecaman pun datang dari pengguna internet yang menuntut aktivitas pengembangan lahan telah mencelakai lingkungan. Hutan ini merupakan hutan terluas yang berada di kota dan menjadi jantung oksigen bagi setiap paru-paru penduduk.
Kampus memberikan pernyataan resmi mereka selang sehari kemudian. Mereka berpendapat jika lahan itu sepenuhnya milik kampus dan tidak perlu izin mana pun jika ingin membangun sesuatu. Jika isu sengketa lahan itu disampingkan, sebagai kampus dengan keilmuan lingkungan terbaik di kota, mahasiswa menyayangkan ketiakdaaan kajian terlebih dahulu mengenai pembukaan lahan. Lebih disayangkan lagi jika lahan tidak dibangun untuk kepentingan daripada keilmuan, melainkan membangun atas dasar keuntungan semata.
"ANJING-ANJING KAPITALIS. MEREKA MENJUAL IDEALISME DI BAWAH KAKI KORPORAT, MENYEMBAHNYA DENGAN MENJILATI JEMARI KAKI MEREKA SATU PERSATU!" ucap Rhea dengan lantang di salah satu media.
Headline berita menunjukkan sepenggal kalimat kritikan Rhea yang menusuk. Bukan ia yang gamang atas pernyataan itu, melainkan aku sendiri. Aku sempat memperingati Rhea jika ia harus menjaga mulutnya agar tidak melewati pagar batas, tetapi aku hanya bisa terdiam saat ia berpendapat jika ia rela mati untuk tanah itu.
Sidang keputusan hanya tinggal menunggu hari. Rhea tidak bisa diam memikirkan bagaimana ia akan bertarung di pengadilan tersebut. Berbungkus-bungkus rokok aku temukan di ruang pribadinya pertanda ia sedang memikirkan sesuatu yang besar.
"Aku harus membuat sebuah revolusi seperti ayahku yang pernah melakukan revolusi terbesar di kampus ini. Namun, aku tidak bisa langsung ke lapangan. Aku harus bertempur di medan yang berbeda. Aku sangat membutuhkan."
"Beristirahatlah, kami juga membutuhkan dirimu. Sudah berhari-hari aku lihat kau tidak tidur dengan cukup."
"Revolusioner tidak butuh tidur, ia butuh visi. Aku harus memikirkan secara matang bagaimana kita akan bertempur."
Keras kepala sekali wanita ini. Pikirannya hanya bisa goyah oleh dirinya sendiri, enggan untuk mendengarkan nasihat seperti ini dari orang lain.
"Aku tahu itu, tapi jangan pernah membuat semua ini menjadi beban moralmu sendiri. Kau akan tersiksa jika terus memikirkannya. Percayakan oligarki ini kepada kami, hari itu akan jadi kemenangan bagi kita."
"Ada banyak yang aku khawatirkan. Jika semua ini gagal, maka kalian bisa diburu oleh kampus."