Edge of the Jungle

JAI
Chapter #39

39

Benarkah ketika kau makin diujung, langkahmu akan semakin berat? Hukum fisika apa yang sedang berlaku di sana? Pertanyaan itu tidak mampu aku jawab selama hidupku dihabiskan sebagai pengelana di atas muka bumi ini. Setiap detik semakin berat saja. Bukannya cabang untuk melangkah yang semakin banyak, malah cabang pikiran yang semakin melebar. Ketika aku berharap masa depan seperti yang aku cita-citakan, ternyata realita lebih gagah berani menerjang diriku.

Menjadi dewasa itu harapan setiap anak-anak, selayaknya diriku yang bodoh dahulu dan selalu berangan-angan mengenai masa depan indah. Tumbuh menjadi tinggi ternyata tidak serumit untuk berkembang menjadi dewasa. Dewasa memang hanya untuk orang-orang dewasa saja. Kedewasaan dipupuk dari setiap detik pengalaman dan tumbuh menjadi diri kita yang sekarang. Kembali lagi, itu tidak sesederhana yang aku katakana.

Kebencian, kemarahan, kekecewaan, kekalahan, dan semua 'ke' yang lainnya berkumpul menjadi satu menjadi sebuah lingkaran. Lingkaran itu dapat dilihat ketika kau sedang berdiri dihadapan kaca dan menatap dirimu yang jelek itu. Sudahkah kau melawan semua 'ke' yang ada? Sudahkah kau memaknai setiap 'ke' yang terjadi? Jika belum, maka bulatan itu belumlah cukup untuk menjadi lingkaran. Kaca yang kau lihat itu belumlah menjadi dirimu sendiri.

Berdiri aku di tengah keramaian mahasiswa ini. Aku berhenti sejenak untuk menarik napas panjang. Sudahkah aku melewati diriku sendiri? Atau hanya berhenti di titik awal untuk menatap diriku yang berjalan menjauh? Aku seakan-akan kembali berlari untuk menggenggam tangannya dan berkata jika aku dan diriku akan berjalan beriringan, memohon untuk jangan meninggalkanku jauh di belakang. Begitu pula dirinya yang memintaku untuk terus mengikutinya. Kerendahan hatinya terlihat ketika ia berkata jika aku mampu untuk melampau jauh, maka berlarilah tanpa menghiraukan dirinya yang sendiri itu. Biarkan diriku tersenyum melihat aku yang berdiri dengan gagah ketika berhasil melawan dirinya sendiri.

Rhea mengajarkan aku itu. Bukan, mengajarkan kami semua. Spiritnya menggerakkan setiap langkah ini. Semangatnya yang melantangkan suara pelawanan ini. Makna demi makna berkumpul menjadi satu dan terbang ke langit untuk menyuarakan kami semua.

"Saudara-saudara, kalian lihat gedung itu? Kalian lihat wajah-wajah penjaga itu? Siapa yang mereka lindungi? Bukankah kita datang ke rumah sendiri? Maka dari itu, biarkan kami masuk ke dalam rumah kami sendiri. Biarkan kami menjaga rumah kami sendiri. Jika kalian tidak memberi kesempatan kami untuk masuk, maka kami yang akan mendobrak pintu rumah kami sendiri!"

Lantang suara Merry yang berorasi di atas mobil pick up yang berisikan para ketua faksi-faksi perjuangan. Sejenak aku merasa kecil dari gadis yang gagah berani itu. Sementara aku berdiri di bawah sini dan bertatapan langsung dengan wajah seram aparat.

"DORONG!" ucapan salah satu mahasiswa di sampingku.

Semangat itu pun menjalar ke seluruh mahasiswa yang ikut mendorong aparat bertameng dan berhelm dengan tangan pentungannya. Sekuat tenaga kami berusaha untuk memukur mundur berikade penjagaan. Teriakan demi teriakan kami lantangkan untuk melawan. Selangkah demi selangkah berhasil kami pukul mundur.

"KAU! KAU JANGAN PUKUL KAMI!" Merry tiba-tiba menunjuk salah satu aparat.

Satu pentungan melesat ke punggung mahasiswa. Perkumpulan seketika chaos berkat mahasiswa yang jatuh kesakitan. Ia ditarik belakang dengan cepat. Hantaman pun tidak terelakkan oleh mahasiswa yang marah. Secara kasar mahasiswa mendorong aparat untuk mundur. Keadaan yang chaos membuat komandan aparat meminta anggota untuk mundur. Kami secara leluasa untuk maju dengan gagah berani.

"BUKAKAN PINTU RUMAH KAMI SENDIRI!" teriakku dengan lantang sembari mendorong aparat bertameng,

Tangisan mahasisiwi terdengar. Para lelaki pun melindungi para mahasiswi dari sempitnya ruang serta menarik mundur mereka agar lebih aman. Teriakan yang kesakitan memekakkan telinga kami yang berada di ruang sempit ini. Pagi yang dingin menjadi membakar seiring mentari yang naik. Embun turun seharusnya menetes dari atas daun, kini mengalir dari ujung mata.

Lihat selengkapnya