Edge of the Jungle

JAI
Chapter #40

40

Mentari semakin naik menapaki langit berawan tipis. Cahayanya merambat di antara dedaunan dan memantul pada setiap wajah yang aku tatap. Beruntung semilir angin mampu menyelinap, memberikan sedikit kesegeran di tengah keadaan yang benar-benar chaos. Merry menunjuk bangunan rektorat yang berdiri gagah dengan penjagaan ketat aparat. Ia memerhatikan ratusan mahasiswa yang satu per satu sudah berkumpul kembali.

"Keadaan telah chaos. Tinggal kita yang bisa menembus rektorat. Maka, kita akan menembus melalui pintu masuk belakang," ucap Merry.

"Aparat fokus ke bagian depan. Di belakang masih terdapat sela," balas Barto.

"Ayo kita bergerak. Angkat bendera faksi kalian!"

Bangunan tanpa pagar itu pun menjadi target. Kami bergerak dengan cepat untuk menembus penjagaan. Wajah-wajah aparat itu pun kembali hadir dengan melihat pergerakan kami. Senjata pun diangkat, menembaki kami dengan gas air mata. Kembali mengepul gas berwarna putih itu. Sungguh pedih terasa melalui mata yang terbuka. Kelompok hampir bubar untuk berlindung di balik-balik pohon untuk menyiapkan perlindungan wajah seperti masker dan kain.

"Sial! Mereka menarik anggota kita." Merry memerhatikan terdapat beberapa mahasiswa yang berhasil diamankan oleh aparat. "Tidak akan aku biarkan."

"Tunggu Merry, jangan⸺"

Gadis itu enggan untuk dilarang. Ia berlari untuk menjemput mahasiswa yang diamankan Mahasiswa itu tampak terlungkup di atas rumput dengan lutut aparat yang menahan di atasnya. Tanpa diduga, Merry mendorong aparat tersebut hingga dirinya sendiri yang terpental. Gadis sekecil itu tidak akan mampu menghantam aparat terlatih untuk keadaan yang seperti ini.

"MERRY!" teriak Barto.

Sang pemimpin telah jatuh seperti layaknya sebuah negara yang dikudeta dengan raja terpenggal. Merry berteriak dengan caci maki dari mulutnya. Tengkuknya ditahan untuk tidak bangkit. Tangannya dipaksa untuk tetap di belakang. Beberapa aparat berada di sana dan berusaha untuk menghalangi kami untuk mendekat.

Terdengar suara pecahan dari kaca belakang bangunan rektorat. Setiap mata tertuju ke sana. Hal itu pertanda benteng pertahanan sudah berhasul ditembus. Aparat pun bergerak di sana. Sementara kami di sini masih beradu fisik dengan mereka yang berusaha untuk mengamankan mahasiswa. Tanganku berusaha untuk menarik Merry dari penjagaan aparat. Ia dijaga dengan ketat untuk dibawa ke tempat pengamanan.

Aku melihat pergerakan mahasiswa yang bersiap menduduki rektorat. Mereka yang sebelumnya berlindung ke bangunan fakultas, kini kembali datang untuk bergabung. Tangga-tangga kayu dipasang ke setiap sudut bangunan. Mereka menaiki dan membuka jendela dengan paksa. Baliho-baliho yang dipersiapkan sebelumya kini dipasang. Rektorat kini perlahan dipenuhi oleh kata-kata perlawanan dan kritikan pedas terhadap isu perampasan lahan yang terjadi. Tidak hanya itu, isu-isu universitas yang selama ini tenggelam tidak tahu kabarnya, kini kembali mencuat.

"Kita menang!" ucapku pada Barto.

"Belum kawan, kita belum menang jika Rhea masih berperang di sana."

"Kau gantikan Merry, aku akan mengikuti Merry. Ia akan dibawa ke armada polisi," balasku.

Langkahku berat mengikuti Merry yang diboyong oleh polisi. Tidak peduli usaha tanganku untuk menariknya kembali, hanya berakhir dengan dorongan tangan besar aparat untuk menjauhiku. Ia terus berteriak untuk dilepaskan, tetapi apalah daya dirinya yang sudah dikepung. Semua tahu jika Merry merupakan koordinator dan paling lantang bersuara hari ini.

"LIHAT ITU!" salah satu mahasiswa menunjuk langit.

Lihat selengkapnya