Edge of the Jungle

JAI
Chapter #41

41

Udara mencekikku dengan panas yang membakar keringat hingga mengering kembali. Angin berayun menyapaku di atas motor tua milik salah satu temanku yang dipinjam untuk memecah kemacetan kota, hanya saja enggan memberikan ketenangan. Terus saja jantungku berdegup kencang, selayaknya pintu yang digedor berkali-kali dan hendak mengeluarkan sumpah serapahnya sekali saja.

Pria itu, benar pria tua. Ia yang aku temukan di tebing laut mercusuar pangkalan militer laut. Awalnya aku mengira jika ia salah satu tentara pensiunan yang sedang berpatroli sore hari untuk mengenang masa muda, ternyata seorang mantan buronan politik negara yang pernah mengacaukan intelegen bertahun-tahun. Ia menghilang ke satu tempat dan ke tempat lain untuk bertahan hidup, hingga ia datang sendiri padaku dengan membawa sebuah kabar. Kabar itulah yang aku bawa tepat di dalam kantong jaket lusuhku itu.

Begitu dekatnya rahasia ini. Rahasia yang seharusnya tidak tersembunyi, terbuka lebar di hadapan pelupuk mata. Entah mataku yang buta, atau benar jika dirinya merupakan hantu yang tidak terlihat sama sekali. Hantu itu bergentayangan pada setiap momen di mana aku membutuhkan dirinya mengenai pertanyaan-pertanyaan yang selama ini aku ajukan pada diri sendiri. Sebijak itu dirinya mengajarkanku beberapa ilmu kehidupan, hingga pada akhirnya aku menemukan tujuan.

Jalan yang aku tempuh penuh dengan rahasia dan syarat akan maksud. Kini aku paham kenapa ia bertahan di tepian pantai itu, semata-mata untuk melindungi tanah yang dijanjikan dan putri kecilnya yang kini sudah beranjak menjadi gadis pemberani. Entahlah siapa yang telah menembaki pegawai proyek, bisa jadi itu merupakan ulahnya sendiri. Bapak dan anak itu sama saja, sama gilanya dengan segala pemikirannya yang luar biasa.

Sesampainya aku di gedung pengadilan, aku melihat media sudah berkumpul membentuk sebuah barisan yang sulit sekali aku tembus. Mereka sibuk untuk mengambil gambar di jendela, mengintip di balik celah pintu, serta melakukan liputan di lobby yang sesak akan manusia. Aku berkali-kali menyebut nama Rhea untuk menyadarkannya jika aku membawa sebuah jimat yang akan menamatkan peperangan ini.

"Tolong minggir dulu, bangsat!" Aku mendorong wartawan tanpa memedulikan hak mereka untuk meliput berita. "Aku membawa sesuatu yang penting."

Bisa jadi aku akan tertangkap di televisi dan koran sedang mengacaukan pengambilan gambar mereka, namun aku enggan mengalah mencapai pintu ruang sidang.

"Sidang sedang berlangsung, Bapak mohon tunggu di luar. Di dalam sudah penuh," ucap penjaga ruang sidang di depan pintu.

"Aku perlu menemui pengacara Rhea. Aku membawa sesuatu untuknya," balasku.

Tubuhku hampir goyak oleh desak-desakan wartawan di belakang.

"Mohon tidak mengganggu keberlangsungan sidangnya, Pak."

"Masa bodoh!" Aku mendorongnya. "Aku bawa surat kepemilikan tanah itu!"

"Tidak boleh! Di dalam sudah penuh!" Ia bersikeras.

Aku diam sejenak. Hela napasku begitu berat. Panasnya udara dan emosi yang memuncat hampir menguatkan niatku untuk menghantam petugas itu dengan selembar kertas yang aku bawa.

Lihat selengkapnya