Salah satu hal paling bosan yang pernah aku lakukan ialah mengantarkan Merry yang tengah mabuk. Matanya enggan terbuka dan memaksaku untuk menuntunnya tepat di depan ranjang. Sering kali aku menolak ketika ia memintaku untuk membukakan baju karena berkeringat. Aku hanya meninggalkannya setelah ruangan kamar telah sejuk oleh pendingin udara.
Aku berkali-kali memperingati dirinya agar tidak mencaci Rhea, meskipun aku tahu ia berkata seperti itu dalam pengaruh minumam keras. Merry membenci beberapa sifat Rhea yang pemarah, tidak ingin kalah, serta pesuruh handal. Ia tetap menahanku untuk pergi dan mendengarkan cerita-cerita aneh yang sama sekali tidak aku mengerti. Sering kali ia bercerita mengenai kuda bertanduk satu di belakang rumah yang akan meminum air kolam sampai habis, alien yang diam-diam membuka kulkas dan memakan semua makanan di dalamnya, serta beruang yang selalu mendatanginya sekali sebulan untuk membawakan roti dan madu. Layaknya khayalan anak kecil, aku hanya mengiyakan sampai ia benar-benar tertidur.
Sebenarnya apa yang kau takuti di hidup ini?
Pertanyaan itu pernah terlempar di hadapan wajahku sebelum ia menutup mata dan bersandar di pahaku yang dingin. Ia teler berat hingga kalimatnya terdengar lambat. Pertanyaan itu memutar turbin pada otakku untuk mengolah kata. Aku hanya menjawab jika masa depan merupakan hal yang paling aku takuti. Aku menakuti nasib diriku sendiri, serta bagaimana diriku akan hidup, sementara aku masih saja cenderung bergerak di depan tatkala bumi terus saja berputar.
Aku takut ditinggalkan. Semenjak kecil aku selalu sendiri. Mama jarang di rumah karena harus mengurus bisnisnya. Papa bercerai dan meninggalkanku sejak aku kecil, bahkan aku sama sekali tidak mengetahui sekarang ia ada di mana. Aku hanya bermain dengan imajinasi yang aku sebutkan padamu. Imajinasi ialah bentuk nyata sebagai teman, sebaliknya teman merupakan imajinasi palsu yang aku dapatkan.
Aku menyarankan untuk mencari ayahnya selayak yang Rhea lakukan sekarang. Namun, ia tidak pernah menjawab saran dariku, hingga aku menemukan jawaban itu sekarang.
Tiga sudut pandang mata saling berhantam satu sama lain, menyerang misteri yang selama ini terselubung dalam satu per satu realita yang terjadi. Seperti hujan yang jatuh di tengah terik mentari siang hari, aku menatap air mata yang membelai kedua belah pipi Merry. Tangannya jatuh di ujung ranjang dengan wajah yang enggan untuk bangkit.
"Bagaimana bisa?" Rhea menggoncang tubuh ayahnya. "Apa yang selama ini kau sembunyikan dariku, Zarathustra?!"
Pria itu memejam matanya. Ia tidak sanggup membendung tangisnya yang pecah.
"Kalian berdua ... kembalilah ke pelukanku. Itulah yang selama ini aku inginkan." Ia berusaha untuk meraih tubuh Rhea dan Merry, namun kedua gadis itu menolaknya.
"Selama ini aku mencarimu, aku mencarimu sampai ke luar negeri karena Mama bercerita jika Papa bekerja di sana. Lalu, aku mendapati jika ada seorang anak kandung lainnya darimu yang bernama Rhea. Aku seakan diberikan angin segar untuk mencari dirimu lagi. Apa Papa begini hanya karena aku anak dari selingkuhanmu?!" Merry berteriak di akhir kalimatnya.
Secara tiba-tiba Rhea menarik tangannya dari lemari, lalu sepucuk senjata revolver mengarah kepada Profesor Zarathustra.