Terhening di dalam hutan yang sunyi dengan sedikit riung serangga bernyanyi menjadi tempat paling tenang dalam hidupku. Gadis berwajah bintik bagian hidung itu sibuk menjamkan ujung kayu untuk dijadikan pagar pelindung kebun. Nusa memanjati rumah untuk memperbaiki atap rumah yang bocor, sehari sebelumnya Profesor Zarathustra memarahinya karena melempar monyet menggunakan sebatang kayu ke bagian sana. Tidak ada Merry, ia berkelahi dengan Rhea karena urusan ayahnya sendiri. Profesor Zarathustra telah diminta mengajar filsafat kembali, tetapi Merry melarangnya karena hambatan usia.
Tiga bulan setelah kemenangan yang didapatkan, kini kami sedang mempersiapkan hal besar. Doktor Adam Zarathustra─adik Profesor Zarathustra─resmi menjadi rektor universitas setelah pimpinan sebelumnya diringkus kejaksaan akibat gratifikasi alih fungsi lahan dengan mafia tanah. Nusa sebentar lagi menikmati bangku perguruan tinggi setelah mendapatkan ijazah paket c. Aku berhasil membujuk sahabat lamaku yang Abdias itu untuk berinvestasi dengan mendirikan coffee shop. Aku rasa ide bisnis ini akan berhasil dengan pasar para mahasiswa universitas.
Sebagian besar lahan milik Rhea telah dihibahkan untuk keperluan konservasi alam. Pos-pos penjagaan telah didirikan di beberapa titik dan kami semakin sering mendengar suara gajah dari sana. Lembaga konservasi mendatangkan beberapa induk gajah dan anakan sebagai objek pelestarian. Universitas berkomitmen untuk bekerja sama dengan menjadikan tempat konservasi sebagai tempat penelitian yang tepat bagi keilmuan.
"Aku tidak ingin gajah-gajah itu memasuki pekarangan kebunku. Mereka sangat besar dan menyeramkan. Aku belum pernah melihat gajah sebesar itu sebelumnya," ucap Rhea ketika kami mengintip Mahout atau pawang gajah yang sedang mengasuh gajahnya.
"Mereka berkeliling bersama pawangnya. Lagi pula mereka jinak dan hanya takut dengan anjingmu yang selalu menyalak. Mereka tidak akan mendekati rumah," balasku sembari membawakannya beberapa tiang pancang dari kayu hutan.
"Bagaimana dengan persiapan Abdias? Ia sudah membayar uang sewa lahan selama setahun. Aku akan menyicil alat pembuat pupuk kompos dan alat packing. Kepala Konservasi mengizinkan kita mengambil kotoran gajah. Aku berencana memperluas kebun sayur organik dan menjualnya ke Merry. Ia punya banyak kenalan di supermarket besar."
Aku tersenyum ketika gajah tersebut memainkan dedaunan di belalainya.
"Wow, itu ide yang bagus. Sayuran organik lagi punya trend di pasaran." Aku menoleh kepada Rhea. "Abdias mengundang kita ke opening coffe shop esok malam. Semuanya gratis untuk hari pembukaan."
"Aku suka yang gratisan," balasnya dingin.
"Aku dengar kau berkelahi dengan Merry, tapi kau malah berbisnis dengan kapitalis itu," tanyaku.
"Bisnis adalah bisnis. Urusan pribadiku dengannya itu hal lain." Ia berbalik arah menuju rumah. "Ayo kita selesaikan pagar-pagar ini."
"Baiklah ...."
Profesor Zarathustra saat ini diminta oleh Rhea untuk tinggal di kediaman Merry. Selain dari fasilitas rumah Merry lebih mendukung untuk kesehatan pria tua itu, ia menyadari jika ayahnya sendiri turut memiliki keluarga lain. Ia menerima jika Profesor Zarathustra masih memiliki istri yang merupakan ibu dari Merry. Aku tahu betul bagaimana dirinya begitu berat menerima fakta tersebut. Bagaimana ia sering menangis di malam hari karena merasa ia telah dikhianati, menyesali masa lalu yang telah hilang, memarahi gajah-gajah yang sebenarnya tidak mengganggu, aku menemani masa-masa itu. Sekarang sudah berlalu, aku senang melihat dirinya kembali tersenyum.
Malam ini aku menunggunya untuk mengenakan gaun pesta. Aku ragu ia bisa nyaman memakaikan pakaian yang aku pilihkan dari butik milik ibunda Merry. Lantai kayu berdetak dari langkah kecilnya, lalu pintu kamar perlahan bergerak untuk terbuka. Ia lemah menatapku yang bosan. Wewangian kini menyeruak ke penciuman yang menjadikan senyumku melebar setengah. Kami mengabaikan lilin yang mulai padam dari penerangan malam, tidak urung membuatnya untuk tegas mengampiriku.
Rhea melihat botol vodka di samping diriku.