Ara tersenyum melihat Eden memelankan laju sepeda motor miliknya ketika melawati gadis itu di gerbang depan sekolah. Melalui kaca spion, Eden bisa melihat dua sudut bibir Ara yang terangkat membuat Eden turut tersenyum senang. Ara menyalami guru penegas sekaligus mahasiswa yang sedang melakukan praktik mengajar di sekolahnya, kemudian melewati koridor bawah dan berjalan dengan tenang. Gadis itu sengaja tidak langsung menuju kelasnya karena harus mampir ke tempat fotocopy untuk mengambil makalah fisika yang dan beberapa jurnal kimia miliknya.
Langkahnya terpaksa berhenti saat seseorang mendadak menghadang jalannya. Ara mendongak dan tersenyum lebar begitu tahu siapa orang yang menghalangi jalannya.
“Eden” gumam Ara
“Kak Ara udah sarapan belum? Pasti belum, kan? Nih, buat Kak Ara. Sekarang Eden mau ke kelas dulu, ya? Semangat belajar, Kak” ucap Eden kemudian melambai meninggalkan Ara yang tersenyum sembari menatap susu strawberry dan roti selai cokelat di tangannya.
“Aduh, Dek Ara pagi-pagi sudah dapat roti dari Mas Ganteng pasti langsung semangat nih ulangannya” goda Doni selaku pegawai fotocopy yang sudah akrab dengan Ara sejak remaja tersebut duduk di bangku kelas sepuluh.
“Apaan sih Mas Doni” jawab Ara tersipu kemudian bergegas mengambil jurnal dan makalah miliknya.
Ara kembali ke kelasnya setelah selesai, namun langkahnya semakin pelan saat melihat Eden tengan dikerubungi gadis-gadis di sekolahnya. Sudah pemandangan biasa memang, tapi tetap saja Ara tidak suka dan cemburu. Ia ingin mengatakan kepada para gadis tersebut kalau Eden miliknya. Namun Ara tidak bisa, tidak untuk sekarang.
Ara melengos lantas mempercepat langkah kakinya begitu Eden beradu pandang dengannya. Gadis itu sedikit berlari dan berhenti sejenak di depan sekretariat OSIS saat melihat Delvin berada di ruangan tersebut.
“Vin, hai!” sapa Ara bersemangat
Delvin yang mendengar sapaan Ara segera bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri gadis itu. Senyumnya mengembang melihat Ara dan matanya menunjukkan binar bahagia.
“Ara, kamu habis dari sekretariat? Tapi kayaknya tadi sepi deh” ucap Delvin sembari melongok menatap sekretariat pramuka.
“Aku habis ambil makalah sama jurnal di Mas Doni” jawab Ara
“Belum sarapan? Kok udah bawa roti sama susu?” tanya Delvin selepas melihat roti dan susu pada tumpukan makalah dan jurnal milik Ara. Sementara Ara hanya menunjukkan deretan giginya setelah mendengar pertanyaan Delvin.
“Jangan kebiasaan ngelewatin sarapan, apalagi hari ini kamu ada ulangan kan?” ucap Delvin lembut sembari mengelus pelan puncak kepala Ara.
“Iya Mas Duta yang bawel” jawab Ara kembali terkekeh kemudian melambai pada Delvin dan meninggalkan pria itu yang tersenyum melihat kelakuannya.
Ara masih mengembangkan senyum hingga duduk di bangkunya. Bertemu Delvin selalu bisa menaikkan mood-nya yang sedang buruk. Bahkan teman-teman satu angkatan Ara lebih banyak mengira bahwa Delvin adalah kekasih Ara karena kedekatan keduanya. Orang-orang juga merasa cocok dengan pasangan tersebut. Delvin yang cenderung kalem, bersama dengan Ara yang aktif dan banyak berbicara. Keduanya juga sama-sama menjadi sorotan, kalau Delvin adalah sorotan para guru karena prestasinya di bidang akademik dan non akademik, Ara menjadi sorotan teman-temannya karena sifatnya yang mudah berbaur.
Sayangnya, hubungan Ara dan Delvin tidak lebih dari seorang sahabat. Teman-teman mereka cenderung tidak percaya bahwa keduanya hanya seorang sahabat, tapi memang begitulah faktanya. Meski sebenarnya ada harapan dari salah satunya untuk menjadi lebih dari sekadar sahabat.
Ara mengunyah roti cokelatnya sembari membaca materi yang ada. Sesekali jemarinya menulis beberapa rumus dan mengerjakan soal yang ada untuk mereview apa yang sudah ia pelajari. Begitu fokus hingga Ara tidak menyadari bahwa kelasnya mulai ramai dan bel masuk berbunyi.
Setelah melewati tiga jam dengan ulangan kimia yang berhasil membuat kepala seperti mau meledak, Ara pergi menuju kantin bersama Fefe – teman satu bangkunya. Mereka berdua memesan nasi goreng dan bercengkerama ringan sembari menunggu pesanan selesai. Sesekali Fefe sibuk dengan ponselnya untuk membalas pesan Galih – kakak kelas sekaligus kekasihnya dari jurusan IPS sejak satu tahun belakangan ini. Gadis itu sesekali tertawa sembari menyeruput es teh dalam gelasnya. Ara hanya bergedik tidak peduli, sudah terlalu biasa dengan sikap Fefe yang tersenyum sendiri saat bahagia.
“Fe, makananmu sudah datang, balas pesannya nanti lagi. Kak Galih gak akan berubah menjadi siput hanya karena kamu telat balas pesannya sepuluh menit.” Ucap Ara dengan mulut mulai mengunyah makanannya. Fefe yang mendengar ucapan sahabatnya hanya menampilkan deretan gigi putihnya lantas mulai memakan nasi goreng miliknya.
“Ra, lihat deh. Eden Abigail dimana-mana selalu menjadi pusat perhatian. Padahal menurutku, dibanding Delvin masih mendingan Delvin kemana-mana. Delvin tampan, tinggi, kalem, pintar, duh pokoknya idaman banget deh. Kalau Eden sih juga cakep, terkenal, suara bagus, jago futsal juga, tapi apa ya, beda aja sama Delvin.” Ucap Fefe masih menatap Eden yang tengah menjadi pusat perhatian dan dikerumuni para gadis.
“Setiap orang kan punya idolanya sendiri, Fe. Lagipula, Eden sama Delvin juga punya porsinya sendiri tahu. Kita gak bisa dong menyamaratakan keduanya.” Jawab Ara santai sembari terus mengunyah makanannya.
“Ara, kamu memilih siapa antara Eden sama Delvin.” Fefe berbisik di telinga Ara yang mana membuat gadis itu menghentikan kunyahan makanan di mulutnya.