Ara naik ke atas sepeda motor milik Delvin kemudian tangannya memegang ujung seragam pria itu. Delvin hanya tersenyum simpul mendapati Ara masih merasa canggung dengannya.
“Ara mau makan bubur dulu, gak? Sekarang udah hampir jam lima pasti udah buka.” ucap Delvin sebelum melajukan motornya.
“Mau! Ayo ayo” jawab Ara dengan semangat yang dibalas anggukkan oleh Delvin.
Salah satu kebiasaan Delvin dan Ara selepas pulang sekolah pada sore hari adalah menjajal kuliner setiap akhir pekan seperti sekarang. Dan salah satu favorit keduanya yaitu bubur ayam. Bagi beberapa orang, mungkin memakan bubur di sore hari adalah kebiasaan yang cukup aneh, tapi Delvin dan Ara tidak terganggu dengan kebiasaan tersebut. Setelah sampai disana Ara bergegas turun dan menunggu Delvin dengan tidak sabar.
“Delvin cepetan ayo nanti keburu habis” ucap Ara sembari menarik pergelangan tangan Delvin dan menghampiri kedai bubur tersebut dengan melangkahkan kaki lebar-lebar.
Setelah mendapat pesanannya, keduanya duduk dan segera menyantap makanan mereka. Ara tidak bisa menyembunyikan binar kebahagiaan di matanya. Sejak minggu lalu gadis itu sudah merengek mengajak Delvin membeli bubur ayam langganan mereka yang sayangnya tidak bisa Delvin penuhi permintaannya karena ia sibuk untuk persiapan perilisan majalah sekolah. Barulah hari ini ia sempat mengajak Ara makan bersama. Sedangkan gadis itu mulai menyuap makanannya sembari berdecih pelan menatap Delvin yang mengaduk bubuk miliknya.
“Delvin jorok ih” ucap Ara
“Ara, ini perdebatan kita yang kesekian ya soal bubur diaduk dan gak diaduk. Lagipula rasanya sama-sama enak kok.” Jawab Delvin
“Kenapa sih kita gak sejalan. Padahal nyenengin lho bisa ngobrol sama yang sejalan dengan kita. Yah, meskipun mengobrol dengan seseorang yang punya pendapat berbeda dengan kita itu bisa membuat pikiran kita jadi lebih terbuka” ucap Ara, kebiasaan mengemukakan pendapat dan menjawab dengan pendapatnya sendiri.
“Contohnya kayak soal bubur ini nih. Kamu gak suka diaduk karena akan menghilangkan seni dari buburnya dan terlihat jorok, tapi menurut aku kalau gak diaduk rasanya percuma karena rempah-rempah yang ada di buburnya jadi gak kerasa. Kita berdua punya pendapat yang berbeda dan justru kita bisa belajar dari situ untuk lebih memahami dan menghargai masing-masing.” Jawab Delvin yang dibalas anggukkan oleh Ara.
Keduanya melanjutkan mengunyah makanan tanpa obrolan hingga bubur di mangkuk Delvin tandas tanpa sisa. Pria itu melihat Ara sambil tersenyum simpul, lantas tangannya menopang dagu menikmati pemandangan di depannya.
“Jangan dilihatin mulu nanti naksir.” Ucap Ara santai sembari membersihkan sisa makanan di mulutnya.
“Emang udah naksir, gimana dong? Sayangnya udah jadi milik orang.” Ujar Delvin tersenyum miris.
“Siapa sangka Delvin Pradipta yang terkenal cool dan classy di saentaro SMA 1 hanyalah sadboy yang hobinya ngegembel sama sahabatnya. Kalau mereka tahu, pasti langsung pada melipir deh. Batal jadi penggemar kamu.” Kekeh Ara
“Gak papa, selama bukan kamu yang melipir dan menjauh, aku sih santai aja” jawab Delvin
“Delvin tuh ya, untung aku udah kebal sama gembelan kamu yang hampir dua tahun ini aku dengerin terus.”
Padahal aku serius, aku tidak pernah main-main kalau itu menyangkut kamu. Tapi kamu gak pernah ngelihat ketulusanku. – batin Delvin
Delvin memalingkan pandangannya, ia tidak tahu kalau sedari tadi – bahkan sedari dulu, gadis itu hanya berpura-pura biasa saja. Padahal kalau boleh jujur, Ara dihantui rasa bersal;ah dan kebimbangan setiap harinya karena perlakuan Delvin. Ara tidak bodoh, ia tahu kalau Delvin menyukainya bahkan sebelum ia menjadi kekasih Eden. Tapi Ara tidak pernah menganggap Delvin lebih dari seorang sahabat. Perasaannya terhadap Delvin tidak pernah lebih dan ia nyaman kepada pria itu sebagai seorang saudara. Bagi Ara, Delvin adalah teman cerita yang menyenangkan. Delvin seperti seorang kakak yang siap melindungi adiknya dalam keadaan apapun.
Ara mengenal Delvin sebaik pria itu mengenalnya. Jadi, tidak sulit untuk Ara mengetahui bahwa Delvin menyukainya. Ara diam dan pura-pura tidak tahu karena ia terlalu takut. Ia takut kalau Delvin pergi dari sisinya.
Menghabiskan minumannya, Ara menatap Delvin yang tengah sibuk dengan ponselnya. Ingin mengajak Delvin pulang karena Ara tahu kalau pria itu pasti memiliki banyak hal yang harus dikerjakan.
“Delvin ayo pulang” ucap Ara
“Bawa jaket, kan? Dipakai ya, udah sore banget soalnya.” Jawab Delvin sembari memakai jaketnya