Ara tiba di rumahnya dengan wajah lesu yang berhasil ditangkap ibunya. Gadis itu segera masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri tanpa mengganti pakaiannya terlebih dahulu. Ia bahkan mengabaikan ranselnya yang tergeletak sembarangan di lantai dan sepatu yang masih menempel di kaki. Ara melamun sampai tidak sadar ibunya sudah duduk disamping tempat tidurnya.
“Nduk, kenapa? Pulang-pulang kok gak nyapa ibu” ucap Ibu Ara sembari mengelus punggung anak perempuannya.
“Bu, sakit hati Ara dituduh menindas anak OSIS padahal mereka tidak tau kebenarannya. Anak OSIS itu gak sengaja nabrak dan numpahin jus ke seragam Ara, dan dia sudah minta maaf. Ara juga sudah maafin dia, Ara bilang kalau semuanya baik-baik aja. Terus Ara puk puk bahunya sambil elusin lengannya buat nenangin dia. Tapi waktu Ara ke toilet ada gosip beredar kalau Ara menindas anak itu. Bahkan ada siswi yang laporan ke sekretariat kalau Ara menindas anak itu.” Cerita Ara panjang lebar
“Mereka nanya sama Ara apa bener kalau aku menindas anak itu, tapi bukan sebuah pertanyaan melainkan pernyataan. Ara kesal, Bu” tutur Ara sembari menunduk.
“Dan kamu gak mendengarkan penjelasan teman-teman kamu lebih dulu?” tanya ibunya yang dibalas gelengan oleh Ara.
“Sayang, harusnya kamu memberikan mereka kesempatan berbicara, darimana mereka mendengar berita itu lalu kamu jelaskan kebenarannya. Bukan malah kabur seperti sekarang.” Ucap Ana sambil mengelus pelan surai putrinya.
“Kalau kamu pergi begitu saja seperti ini kamu juga tidak tahu kan bagaimana pandangan mereka terhadap masalah ini. Bisa jadi mereka benar-benar bertanya dan khawatir sama keadaan kamu. Anak Ibu yang manis, jangan lari dan gampang terpancing emosi. Coba dengarkan dari sudut pandang lain supaya kamu bisa menilai dari kacamata mereka. Ibu tahu Ara lebih paham sama hal ini.” Ana menjelaskan kepada putrinya sambil terus mengelus surai gadis itu.
“Ya udah sekarang Ara bersih-bersih terus makan, ya? Ibu masak sup hari ini pakai sambel juga, kesukaan Ara.”
“Iya, Bu. Sebentar lagi Ara makan.” Jawab Ara yang diangguki oleh Ana.
Setelah ibunya meninggalkan kamar Ara, gadis itu merogoh ponsel pada ransel miliknya dan mendapatkan pesan dari grup pramuka serta teman-temannya. Jemari Ara membuka pesan dari Eden terlebih dahulu, retinanya fokus membaca pesan dari kekasihnya tersebut.
Kakak udah makan, kan?
11.30
Sampai ketemu nanti, Kak. Gak sabar mau lihat wajah Kakak.
11.36
Kak ada gosip menyebar kalau Kakak menindas anak OSIS. Aku tahu Kakak gak kayak gitu. Kakak oke, kan?
11.49
Kak, kenapa gak masuk kelas aku?
Kakak baik-baik aja, kan?
Aku khawatir, balas pesan dari aku
Aku ke rumah Kakak nanti.
13.20
Ara menghela napas panjang, kemudian jarinya bergerak untuk membaca pesan Delvin.
Aku udah bilang sama Diana, besok dia akan membuat kesaksian kalau kamu gak menindasnya. Jangan terlalu khawatir, semuanya akan baik-baik saja, oke?
Ara menggigit bibir bawahnya yang bergetar menahan tangis. Betapa bersyukurnya Ara memiliki Delvin. Pria itu selalu tahu apa yang harus dilakukan untuk melindunginya. Menutup kedua wajahnya dengan telapak tangan, Ara menangis lagi tanpa suara. Setelah cukup tenang, gadis itu membuka pesan dari grup pramuka miliknya yang isinya menanyakan kondisi Ara. Sampai pesan dari Adala membuat Ara menangis kencang.
Ara, kami percaya sama kamu. Maaf kalau pertanyaanku tadi justru membuat kamu salah paham. Tapi percayalah, kami hanya sangat khwatir sama keadaan kamu. Kami mengenal kamu dengan baik, dan kamu tidak akan melakukan hal memalukan seperti itu semarah apapun kamu. Maafkan kami ya, Ara. Dan tetap kuat karena kami selalu ada sama kamu.
Kemudian setelah pesan Adala, deretan kata semangat memenuhi pesan grup tersebut. Ara menghapus sisa air mata di wajahnya kemudian menghembuskan napas singkat. Baginya sudah cukup teman-temannya masih percaya padanya. Tidak masalah tentang pandangan orang lain asal bukan teman-temannya. Ara akan menyelesaikan masalah ini, khususnya memberikan bukti kepada teman-temannya kalau ia tidak melakukan hal tersebut.