EFEMER

Han
Chapter #7

#7Definisi ‘Kita"

Ara mengerjapkan mata membiasakan retina dengan cahaya di ruangan tersebut. Melihat sekeliling, Ara ingat kalau tadi malam ia menginap di rumah Delvin. Gadis itu tertidur di paha Delvin setelah pria itu mengelus rambutnya. Mengucek matanya sebentar, Ara mencari-cari ponsel miliknya dan menemukannya tengah diisi daya. Tersenyum, Ara tahu Delvin yang melakukannya. Sahabatnya itu memang begitu pengertian dan sigap dalam melakukan apapun yang berhubungan dengannya.

Setelah merasa nyawanya terkumpul, Ara bangkit dan menemukan Delvin tidur di lantai. Mendekati pria itu, Ara mengelus pelan kepala Delvin kemudian membetulkan selimut pria itu. Baru saja hendak bangkit, tangan Delvin sudah lebih dulu menarik lengannya hingga membuat Ara jatuh disamping tubuh Delvin. Ara menahan napas, jarak wajah mereka tidak sampai sepuluh senti, dan Delvin dengan santai malah memeluk pinggang Ara dengan erat.

“Gak papa, aku disini. Epin disini sama Rara, jangan takut.” Ara melihat mulut Delvin menggumam namun matanya masih terpejam. Gadis itu mengerutkan kening penasaran. Ia menatap wajah Delvin yang nampak damai ketika terlelap.

Tangan Ara terulur mengelus pelan kening Delvin yang mengkerut entah memikirkan apa. Delvin tampan, Ara akui itu. Kulitnya tidak putih seperti Eden, namun cokelat manis dengan mata sipit dan lesung samar di pipinya.

Setelah mencoba melepaskan pelukan Delvin dari pinggangnya, Ara segera bangun dan ikut membantu membereskan rumah tersebut sebentar sebelum pulang. Selepas selesai dan berpamitan dengan Dina, Ara pulang ke rumahnya masih dengan piyama kebesaran milik Mama Delvin dan lengan berbalut perban. Sampai di rumah, gadis itu langsung masuk ke dalam kamar setelah menyapa ibunya sebentar. Merebahkan badan di atas tempat tidur, Ara menghela napas panjang. Jarinya menari di atas benda pipih padat miliknya kemudian membalas pesan Eden. Mereka berjanji akan menghabiskan waktu bersama hari ini.

Setelah merasa cukup beristirahat, Ara segera bangkit dan menyiapkan diri sebelum Eden sampai menjemputnya. Gadis itu mengenakan celana bahan dan kaos putih polos dengan denim dan sepatu senada. Tepat setelah Ara selesai menguncir rambutnya, Eden tiba di rumahnya. Gadis itu segera berpamitan kepada ibunya kemudian menaiki sepeda motor kekasihnya.

“Mau kemana?” tanya Ara

“Pantai” jawab Eden singkat kemudian keduanya fokus dalam keheningan. Ara sibuk melihat jalanan dengan memeluk pinggang pria itu.

Membutuhkan waktu hampir satu dua jam untuk sampai di pantai tersebut. Ara turun dari sepeda motor milik Eden kemudian membenarkan sedikit rambutnya yang berantakan. Gadis itu menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Tersenyum dengan lebar.

“Ayo!” Ara menggenggam lengan Eden dengan tidak sabar, membuat pria itu tersenyum senang. Ara selalu bahagia saat melihat pantai, entah apa alasannya – meskipun semua orang sepertinya bahagia juga melihat panta, kecuali mereka mengalami trauma. Namun bagi Eden, melihat senyum mekar di wajah Ara membuatnya ikut merasa bahagia berkali-kali lipat.

Mereka berjalan mendekati air, melupakan segala obrolan mereka kemarin yang mungkin bisa memutur hubungan mereka sekarang. Kenyataannya, mereka berdua sekarang berada di tempat itu bersama, bertingkah seolah tidak ada apapun yang terjadi.

Keduanya saling menggenggam tangan masing-masing menikmati semilir angin pantai yang menerpa wajah keduanya. Tidak ada perbincangan, retina Ara fokus memandang air laut dengan senyum yang masih tertengger di wajah gadis itu, sementara Eden sibuk memandang wajah Ara tanpa berpaling satu detikpun. Kadang, Eden ingin pergi ke suatu tempat yang tidak terjangkau oleh siapapun. Hanya ada dia dan Ara tanpa harus khawatir orang lain.

“Cantik” gumam Ara

“Benar, sangat cantik.” Eden ikut bergumam masih tanpa melepas pandangannya kepada Ara.

“Pantai dan laut hampir tidak memiliki batasan. Kalau pantai menyimpan keindahan dan kecantikan, laut menyimpan segudang misteri dibalik terasnya yang begitu cantik dan damai. Kita tidak pernah tahu apa yang laut simpan. Mata kita hanya sebatas memandang keindahan pantai, deburan ombaknya, orang-orang yang bercengkerama, tapi laut memiliki ketenangan yang menyilaukan sekaligus menakutkan.” Monolog Ara.

“Seperti sebuah hubungan, dari luar kita hanya bisa melihat keindahannya, tapi begitu menyentuh lebih dalam, segalanya begitu rumit dan tidak mudah. Banyak hal yang bisa jadi tidak bisa dipahami oleh nalar.” Ara melanjutkan monolognya tanpa menatap Eden.

“Jika hubungan itu hanya diatasi satu orang, itu bukanlah sebuah hubungan. Karena sebuah hubungan adalah perihal dua orang.” Kini gadis itu mengalihkan fokusnya dengan menatap Eden dan tersenyum lembut.

Lihat selengkapnya