Sudah tiga hari berlalu Ara tidak masuk sekolah karena sakit. Meski perutnya tidak lagi sakit, demam dan sakit kepala masih menyerang tubuhnya. Sejak tiga hari terakhir Eden juga rajin mengunjunginya selpas pulang sekolah. Sementara Delvin akan berkunjung ke rumahnya selepas mahrib hingga entah pukul berapa karena Ara selalu tertidur bahkan sebelum setengah sembilan malam.
Seperti hari ini, Eden masih dengan seragam sekolahnya berkunjung ke rumah Ara dengan membawa roti berisi selai cokelat kesukaan Ara. Pria itu dengan setia menemani Ara meski tidak banyak obrolan. Kadang Ara bahkan jatuh tertidur dan tanpa protes Eden mengelus rambut kekasihnya tersebut dengan harapan Ara semakin nyaman tertidur.
Saat ini keduanya duduk di ruang tamu sambil mengobrol ringan seputar kegiatan sehari-hari – sebenarnya Eden yang banyak bercerita sedangkan Ara hanya mendengarkan dengan mata sayu dan wajah pucat.
Ara baru akan memejamkan mata sebelum seseorang berkunjung ke rumahnya. Ara mencoba bangun dan mengerutkan kening heran karena penasaran siapa yang mengunjungi rumah, sementara Eden tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
“Papa” gumam Eden yang masih bisa didengar Ara. Gadis itu ikut terkejut mengetahui siapa tamunya.
“Silakan duduk, Om.” Ucap Ara mempersilakan dan dengan bersusah payah bangkit hendak membuatkan minum. Namun, langkahnya dihentikan oleh kalimat Papa Eden.
“Saya ingin bicara dengan kamu, Arabella.”
Ara menoleh dan segera mengangguk kecil. Ia kembali duduk di tempnya dan menatap lelaki paruh baya di depannya tersebut.
“Papa kenapa ada disini?” tanya Eden yang tidak dijawab oleh papany.
“Berapa uang yang kamu minta? Atau, apa yang kamu butuhkan, tulis semuanya dan kirimkan pada saya. Akan saya turuti tapi setelah itu jauhi anak saya. Lagi pula keyakinan kalian berbeda, tidak akan ada harapan untuk hubungan kalian.” Ara mendengarkan ucapan Papa Eden tanpa menyela. Memberikan kesempatan lelaki tersebut untuk mengatakan apapun yang ia inginkan.
“Saya tahu kamu tidak tulus mencintai anak saya. Kamu hanya memanfaatkan dia, bukan? Jadi, saya mohon berhenti dan cari orang lain yang keyakinan serta derajatnya sama denganmu.”
“Papa hentikan” Eden mencoba meghentikan papanya
“Anak saya diam-diam menemui kamu, berpacaran dengan kamu, dan mengabaikan perintah papanya. Itu semua karena kamu.”
“Papa, Eden mohon hentikan.”
Ara masih terdiam sebelum menghembuskan napas panjang dan mendongak menatap lelaki di hadapannya tersebut.
“Sebelumnya, saya minta maaf karena membuat Om marah atas sikap Eden yang tidak mendengarkan perintah Om. Saya sadari Eden tidak akan melakukan itu jika bukan karena saya. Selanjutnya, saya tidak pernah tahu bagaimana latar belakang keluarga Eden sebelumnya. Saya menerimanya menjadi kekasih, karena dia yang bisa membuat saya nyaman dan lebih bahagia menjalani hari. Kedengarannya mungkin sangat klise, tapi saya yakin Om pernah merasakan hal yang sama. Terakhir, saya tidak akan berhenti atau memutuskan Eden.” Ara menatap Eden sebentar sebelum tersenyum dan melanjutkan kalimatnya,
“Saya tahu kalau kami tidak akan berakhir baik karena perbedaan keyakinan kami. Namun, untuk saat ini tidak bisakah kami hanya menikmati waktu kami dengan saling mencintai tanpa harus mengkhawatirkan apapun? Saya sungguh faham kalau kami akan berpisah suatu saat nanti, tapi untuk sekarang tolong beri kami kesempatan bersama.”
“Kak ... “ Eden menatap Ara dengan pandangan lemah.