Hari ini Ara sudah berangkat sekolah. Ia mengambil izin selama satu minggu penuh untuk memulihkan tubuhnya. Baru sampai di depan pintu kelas, ia dihadapkan dengan Eden, dan betapa terkejutnya gadis itu ketika melihat wajah Eden yang memar di sudut bibir dan matanya.
“Eden kamu kenapa?” tanya Ara.
Setelah kejadian di rumah Ara minggu lalu, Eden memang hanya sesekali mengirim pesan kepada gadis itu. bahkan dua hari terakhir dia tidak mengirim pesan. Ara jelas tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya melihat wajah Eden.
“Kakak udah sembuh?” tanya Eden tanpa menjawab pertanyaan Ara
“Aku udah sembuh. Sekarang jawab ada apa sama wajah kamu?” tanya Ara sembari menarik pelan pergelangan tangan pria itu dan mengajaknya duduk di depan kelasnya.
“Aku dipukul sama Papa karena ingin menemui Kakak. Setelah pulang dari rumah Kakak, aku dan Papa berdebat panjang dan berakhir aku dikurung di dalam rumah. Namun beliau masih mengizinkanku memegang ponsel. Dua hari setelahnya, Papa tiba-tiba mengambil ponselku. Jelas aku menolak hal itu karena hanya dengan ponsel itu saja aku bisa menghubungi Kakak. Aku nekat kabur dari rumah namun ketahuan oleh salah satu pengawal Papa, dan berakhirlah aku seperti ini.” Jelas Eden sembari menampilkan senyum miringnya.
Ara yang mendengar hal itu mengelus pelan sudut bibir Eden sambil memperhatikan wajah terluka kekasihnya tersebut.
“Apa sudah di obati? Sakit sekali? Kita ke UKS yuk minta salep.” Ucap Ara yang langsung dibalas gelengan oleh Eden.
“Sakitnya gak seberapa dibanding sakit hati yang Papa kasih.” Jawab Eden yang tidak mampu dijawab Ara.
“Eden, apa kita berhenti saja” ucap Ara pelan tanpa berani menatap wajah kekasihnya.
“Apa maksud Kakak?”
“Kamu tidak harus berdebat dengan Papa kamu lagi. Kamu bisa menjalani hari dengan Azada tanpa harus merasa terbebani lagi karena kalian berada pada frekuensi yang sama. Dan kamu tidak harus dipukul seperti ini.” Jelas Ara masih dengan kepala tertunduk.
“Maksud Kakak, Kakak mau kita putus? Aku yang tidak mau. Dari awal aku sudah katakan kalau aku tidak akan pernah melepaskan Kakak sebelum hati kita sendiri yang menginginkannya. Aku akan berjuang untuk kita seperti yang udah kita janjikan. Aku gak mau.” Jawab Eden cepat
“Tapi kamu ... “ Bibir Ara bergetar menahan tangis. Hatinya sakit, ia juga hancur.
“Kak, lihat aku.” Eden meraih tangan Ara dan menatap mata gadis itu. “Aku tidak akan melepaskan Kakak. Kakak yang bilang kalau kita harus menghadapi ini bersama sebagai ‘kita’. Jadi, ayo kita sama-sama bertahan dan berjuang untuk hubungan ini. Aku tidak masalah jika harus berdebat atau dipukul Papa selama aku bisa bersama Kakak.”
“Jangan konyol. Kamu tidak bisa hidup seperti ini, Eden. Satu-satunya keluarga kamu adalah Papa kamu. Hidup kamu sepenuhnya ditanggung oleh beliau dan sudah sepantasnya sebagai seorang anak, kamu berbakti kepadanya.” Ucap Ara dengan air mata mengalir di wajahnya.
“Kita bocarakan ini lagi nanti. Kakak masih kena efek demam.” Ujar Eden kemudian bangkit dan meninggalkan gadis itu.
Ara hanya mampu melihat punggung Eden yang berlalu di hadapannya. Ia menuju toilet dan mengunci dirinya di salah satu bilik, kemudian menangis. Ia tidak ingin berpisah dengan Eden, sangat tidak ingin. Namun ia harus. Semakin lama Ara mempertahankan Eden, maka ia akan menjadi semakin egois. Egois dengan perasaan dan pilihannya. Ia menginginkan Eden seutuhnya dan itu tidak mungkin. Jika Eden memilihnya pun, artinya pria itu harus berdebat dengan papanya bahkan kemungkinan terburuk menjadi musuh papanya selamanya.
Ara tidak mau merusak ikatan seseorang. Kalau ia terus mempertahankan keegoisannya, ia akan menghancurkan hubungan orang lain.
Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan sembari menggigit bibir supaya isakannya tidak keluar. Ara lelah, batin dan fisiknya begitu lelah menghadapi segalanya. Gadis itu bahkan mengabaikan bel masuk yang berbunyi, dan untuk pertama kalinya, Ara bolos pada jam pertama pelajarannya.
Gadis itu keluar dari bilik toilet setelah bel pertama pelajaran berakhir. Beruntunglah karena guru yang mengajar tidak masuk jadi kehadirannya tidak di anggap bolos. Ia duduk di bangkunya dan mengbaikan Fefe yang heboh bertanya ini dan itu tentang dirinya. ara langsung menelungkupkan kepala pada lipatan tangannya sambil memejamkan mata berharap segalanya segera berakhir.
Hari ini seperti kosong dan sepi nyenyat, padahal koridor kelasnya begitu ramai. Ara melewatkan makan siangnya dan hanya duduk di kelas selama jam istirahat. Ia mengabaikan ajakan Fefe bahkan kehadiran Delvin. Ara hanya ingin hari ini segera berakhir dan dirinya bisa mengatakan keputusannya kepada Eden.