Hari hari berlalu begitu saja. Semua orang sibuk dengan urusan mereka masing-masing termasuk Ara. Ujian kenaikan kelas sudah berlangsung dan sekarang mereka resmi menjadi kelas 12. Ara masih menghindari Eden, bersikap seolah pria itu tidak ada atau menjawab seadanya apa yang Eden bicarakan. Gadis itu menyibukkan diri dengan belajar, berorganisasi, dan mengikuti setiap perlombaan menulis. Ara bahkan sering menghabiskan akhir pekan dengan mengerjakan laporan atau latihan soal lainnya. Gadis itu mencoba fokus dengan apa yang ingin ia capai dan melupakan Eden. Ara juga sudah membayar kembali barang-barang yang pernah diberikan oleh Eden, meskipun selalu ditolak pria itu. ia akan sangat menolak saat Eden mengembalikan uang atau memberinya roti selai cokelat dan susu strawberry seperti biasanya.
Hanya saja, jika dulu Ara akan begitu senang, sekarang gadis itu merasa terbebani dan gelisah. Jika dulu Ara akan merasa sangat bahagia jika Eden terang-terangan memuji atau mengatakan suka di muka umum, sekarang gadis itu justru takut dan pikirannya dipenuhi hal negatif. Bagaimana kalau Eden semakin jauh dengan papanya? Bagaimana kalau Eden mendapat masalah, dihukum, atau disakiti oleh papanya karena masih berhubungan dengan Ara? Pikiran-pikiran itu memenuhi isi kepalanya dan membuat Ara sulit tidur pada malam hari sehingga ia harus menyibukkan diri dan berakhir begadang.
Perpisahannya dengan Eden jelas bukan sesuatu yang baik. Gadis itu menjadi lebih kurus dan kantung mata terlihat jelas. Meski bukan hanya kepada Eden, Ara kini seolah menutup diri dari lingkungannya. Ia tetap melakukan tugas sebagai anggota pramuka, namun setelahnya gadis itu akan sibuk dengan dunianya.
Ara akan membaca novel begitu sampai di kelas, membatasi obrolan dengan teman satu kelasnya bahkan dengan Fefe. Ke kantin hanya saat jam pelajaran olahraga dan lebih senang melamun saat jam kosong. Gadis itu bahkan menjadi semakin ambisius terhadap sesuatu yang ingin ia capai. Teman-teman satu kelasnya bahkan ikut menyadari perubahan Ara. Saat presentasi, menjawab pertanyaan, atau bertanya, gadis itu selalu penuh intimidasi.
Setelah liburan sekolah satu bulan lamanya, mereka kembali beraktifitas seperti biasa. Para siswa mulai memasuki kelas masih-masing, termasuk Ara. Gadis itu segera mencari tempat duduk di dekat jendela dan segera menelungkupkan kepala begitu sampai di mejanya. Ia tidak peduli akan berakhir duduk dengan siapa atau tidak memiliki teman sekalipun. Ara hanya ingin tidur sebelum para guru mengumumkan bahwa para siswa akan pulang lebih awal hari ini.
Setelah perkenalan wali kelas dan absensi, serta bersih-bersih, siswa di pulangkan bahkan sebelum genap jam sebelas. Ara enggan beranjak, ia masih ingin lebih lama berada di kelas barunya. Karena jika Ara pulang, ia hanya akan memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak ia pikirkan, seperti Eden misalnya. Mengetuk-ketuk dahinya pada meja, Ara mendongak begitu seseorang menahan kepalanya.
“Kamu lagi apa?”
Delvin. Bukan hanya Eden, Ara juga menjauhi pria di depannya tersebut. Ara tidak mau terus bergantung kepada Delvin dan semakin tidak bisa melepaskan pria itu. Sebelum perasaannya semakin egois, Ara berusaha menjauhkan diri.
“Pulang, yuk. atau mampir Taman dulu buat beli sup buah? Mau bakso, gak? Mumpung masih jam segini pasti belum terlalu ramai.” Ajak Delvin
“Aku pulang sendiri aja, lagian masih pengen disini.” Jawab Ara jujur membuat Delvin mendesah lelah.
“Rara? Epin ada salah?” tanya Delvin yang dibalas gelengan oleh Ara.
“Aku mau pulang.” Ucap Ara
“Kita harus bicara, Ra.” Ucap Delvin tegas.
Ara mendesah panjang kemudian mengangguk kecil sebelum kembali duduk dan mendengarkan apa yang ingin Delvin katakan.
“Kenapa menjauhiku? Jangan katakan kamu tidak sedang menjauhiku karena kenyataannya kamu menjauhiku. Kamu menghindar setiap aku ingin bertemu denganmu. Kamua bahkan menganggap seolah aku tidak ada di sekitar kamu. Ada apa? Apa ini berhubungan dengan Eden?” ucap Delvin menodong Ara dengan semua pertanyaan yang tersimpan dalam benaknya dua bulan terakhir ini.
“Bukan karena Eden, tapi karena diriku.” Jawab Ara membuat kening Delvin mengkerut bingung.
“Delvin, aku ingin kamu menemukan seseorang yang tepat. Seseorang akan mencintai dan menyayangimu dengan begitu tulus. Seseorang yang memberikan cinta yang tidak bisa aku berikan.” Ara menatap tepat pada mata Delvin. “Kalau kamu terus terlibat denganku, menempel denganku 24/7, mereka akan jauh di belakang kamu tanpa sempat kamu sapa ketulusan hatinya. Aku ingin Bela berhenti mengganggumu setelah kamu temukan seseorang yang benar-benar membuat kamu yakin.” Ara menjeda ucapannya sebentar.