Ara menghabiskan sisa putih abu-abunya dengan sibuk belajar. Gadis itu banyak habiskan waktu di perpustakaan saat akhir pekan, dan hanya keluar kelas untuk duduk menghilangkan penat atau membeli makanan ringan. Ia bahkan rutin membawa bekal dan tidak meninggalkan mejanya di jam istirahat pertama.
Saat tiba di rumah, Ara sudah sibuk membaca novel untuk sekadar merefresh otaknya sekaligus menghibur diri sendiri. Kadang Ara akan ikut dalam kompetesi menulis saat tidak memiliki kesibukkan. Sebisa mungkin Ara tidak membiarkan dirinya memiliki waktu luang.
Hubungan Ara dan Eden juga benar-benar berakhir. Eden melanjutkan hubungannya bersama Azad dan bahagia – setidaknya itu yang terlihat dari mata Ara. Sesekali mereka melempar senyum atau bertegur sapa saat tidak sengaja berpapasan. Kadang mereka juga berbagi pesan meski hanya diisi sapaan ringan. Sedangkan hubungan Ara dan Delvin juga berjalan sesuai harapan Ara, meski menyakiti hatinya.
Delvin benar-benar menjauh dan tidak ikut campur dalam setiap hal yang menyangkut kehidupannya. Mereka bahkan tidak saling bertegur sapa ketika bertemu. Meski begitu, perlakuan Delvin kepada Ara masih sama. Pria itu akan menjadi yang paling perhatian meski tanpa mengucapkan apapun. Delvin akan diam-diam memperhatikan bagaimana Ara menjaga pola makan, bagaimana perasaan gadis itu, atau bagimana keadaannya. Bahkan beberapa kali Ara makan malam di rumah Delvin dengan alasan Dina merindukannya, padahal kenyataannya Devin lah yang ingin melihat wajah gadis itu.
Sementara Ibu Ara tinggal bersama ayahnya. Meski setiap satu bulan sekali ibunya akan pulang dan menginap beberapa hari bersama Ara. Karena itu, Ana menitipkan Ara kepada Dina, meski Ara menolak untuk tinggal bersama keluarga Delvin.
Ara memilih tinggal sendirian di rumahnya, meski kadangkala Fefe akan ikut menginap di rumahnya. Dina juga sering mengunjungi Ara dan menginap di rumah itu, dan kadangkala Ara juga akan tidur di rumah Delvin.
Gadis itu melewati setiap harinya dengan normal. Benar-benar normal karena hanya diisi dengan belajar dan sibuk menggapai apa yang jadi impiannya. Bahkan Ara sudah menyiapkan diri untuk masuk perguruan tinggi. Ia tidak ingin terlalu banyak merepotkan kedua orang tuanya dan berusaha masuk melalui jalur nilai. Gadis itu sering mengunjungi ruang BK untuk berkonsultasi dan hal itu benar-benar memudahkannya dalam mendapat info.
Kesibukannya membuat Ara tidak sadar bahwa minggu depan ia akan menghadapi ujian akhir sekolah sebelum ujian kelulusan. Langkahnya berhenti sejenak saat matanya beradu pandang dengan Eden di koridor administrasi.
Gadis itu tersenyum simpul menyapa Eden kemudian hendak melanjutkan langkahnya sebelum suara Eden mencegahnya.
“Kak Ara bisa bicara sebentar?” ucap Eden yang dibalas anggukkan oleh Ara.
Keduanya duduk pada bangku yang ada di depan ruang administrasi. Ara menunggu Eden bersuara sembari pandangannya menatap sekeliling.
“Kak, aku minta maaf, aku belum bisa lupain Kakak. Aku pengen ngomong ini sebelum Kakak lulus dan gak berharap apapun dari Kakak.” Ucap Eden membuat Ara terkejut.
“Aku memang masih pacaran sama Azada, tapi jujur buat lupain Kakak, aku belum bisa. Tiap hari aku bacain pesan aku sama Kakak, lihat foto-foto kita, dengerin lagu favorit Kakak, bahkan makan roti selai cokelat tiap pagi” Eden tersenyum simpul.
“Aku Cuma berharap Kakak bahagia meski bukan sama aku. Jujur, aku masih gak rela bayangin Kakak sama yang lain, tapi aku harus, kan? Aku percaya, kalau kita emang ditakdirin bareng, sekeras apapun kita mencoba jauhan pasti bakal balik juga. Iya kan, Kak?” Eden menatap Ara yang dibalas anggukkan dan senyum di wajah gadis itu.
“Aku juga mau berterima kasih karena selama jadi pacar aku Kakak jarang banget ngeluh meski aku gak mau publikasiin hubungan kita. Padahal saat itu aku yang minta Kakak buat jadi pacar aku. Kak Ara adalah orang baik dan pengertian, jadi aku percaya kalau Kakak juga akan bertemu orang baik.” Eden meremat jemarinya pelan.
“Makasih ya, Kak. Udah mau melewati hari bareng aku dan membuat masa putih abu-abuku jadi lebih berwarna” kekeh Eden. “Semoga Kakak bisa meraih apa yang Kakak impikan. Kalau udah lulus dan kuliah, jangan lupa sarapan ya. Soalnya gak ada lagi yang mau ngasih roti selai cokelat.” Senyum Eden
“Kakak juga jangan terlalu memaksakan diri dan keseringan begadang. Pelan-pelan aja gak papa kok. Kakak pasti bisa.” Eden kembali menatap Ara sambil tersenyum
“Eh, aku malah jadi cerewet gini. Maaf ya, Kak. Sekali lagi makasih udah mau dengerin aku ngomong dan makasih buat semuanya. Aku sayang Kakak.”
Ara tersenyum kecil kemudian menepuk-nepuk pelan punggung Eden.
“Aku juga berterima kasih karena kamu udah bikin masa SMA aku jadi lebih berkesan dan anti mainstreem. Kamu udah mengisi hari-hari aku dengan banyak warna, dan itu menyenangkan. Aku doakan semoga kamu dan Azada bahagia, semoga kamu juga dimudahkan segala urusannya. Semangat belajar dan jangan membantah Papa kamu, oke?” ucap Ara yang dianggukki oleh Eden.
Keduanya tersenyum, kemudian berpisah karena Ara harus menuju ruang BK sedangkan Eden menuju kelasnya.
Ara tersenyum lega, seolah satu beban di hatinya yang selama ini terpendam bisa ia bebaskan. Benar, berdamai dengan diri sendiri maka kita akan temukan bahagia.
Selama ini Ara terlalu banyak menyalhkan diri sendiri perihal hubungannya dengan Eden. Gadis itu sering bermimpi buruk karena tertekan atas keinginan untuk menyelesaikan semuanya. sekarang perasaannya menjadi lega. Meski rasa sayangnya pada Eden belum hilang sepenuhnya, ia sudah bisa melepas pria itu bersama gadis lain tanpa merasa marah atau benci, tanpa menyesali segala hal yang telah terjadi di antara mereka berdua.