Elzora selalu punya cerita. Tentang problematika hidup yang rumit, kusut, dan kalut. Seorang sulung sekaligus putri satu-satunya. Pecinta musik indie yang tidak pernah tampil feminim. Baju kaos polos terbalut jaket bahan jin, kulit kadang denim belel. Lengkap dengan celana jin pula, atau celana pendek kombor. Beralaskan sepatu kets putih. Beraksesoris andalan, kumpulan gelang etnik. Santai dan fleksibel, begitulah dia. Cuek seperti bunglon, tapi mudah beradaptasi sebab suka berkelana ke berbagai penjuru negeri.
Seni dan sepiring batagor adalah salah dua dari bahagia yang paling sederhana. Tukang batagor yang setia. Dengan tabah menunggu rupiah di seberang gerbang kampus. Dekat dengan tempat tinggalnya selama di tanah rantau. Si penjual batagor itu akrab disapa Mang Komar.
"Mang beli batagor kayak biasa ya," pinta Elzora.
"Siap neng! Ngomong-ngomong kenapa neng gelis nggak pernah pesen pake cabe?" tanya Mang Komar.
"Hidup udah pedes mang," balasnya cepat.
"Pedesan mana neng ketimbang hidup saya hehe," guraunya.
Elzora diam, memutar bola matanya lalu meringis malu.
Bersama metik kesayangan, ia tidak pernah absen beli batagor. Sedikit kecap, tanpa cabai, banyak mentimun. Selera yang jarang ditemui untuk kebanyakan perempuan. Makanan pedas menjadi hal yang bukan ditakuti tapi dikurangi. Sebab, semasa duduk di bangku putih abu, penyakit tifus pernah menyerangnya. Mengharuskan tubuh itu dirawat, sebulan penuh. Tubuhnya bengkak sebab terlalu banyak disuntik infus. Bahkan lengannya sempat phlebitis. Dokter tidak menyarankan ia mengkonsumsi makanan berbumbu tajam apalagi pedas. Tidak banyak orang yang tahu tentang alasan itu. Gadis itu bukan tipikal orang yang terbuka menceritakan masa lalu, terlebih masa lalu pahit.
Tiap tengah hari, batagor Mang Komar selalu jadi rebutan. Walaupun, hanya untuk anak-anak sekolahan. Sementara anak kuliahan hanya Elzora dan beberapa temannya. Biasanya Arafah dan Risa. Teman perempuan yang dirasa nyambung, enak diajak ngobrol, humoris, dan bisa diajak berteman. Untuk sisanya bulshit. Baginya, laki-laki dirasa lebih enak untuk diajak berteman.
"Berteman dengan laki-laki nggak repot! nggak banyak bacot! Sepemikiran! Pengertian. Walaupun nggak semuanya begitu…"
Pertemanan laki-laki dan perempuan itu mustahil jika tidak menumbuhkan perasaan. Itu benar, tapi tidak untuk Ardan. Tidak sedikit pula laki-laki kagum dengan gadis cuek itu. Selalu tampil beda, cool meski sederhana. Tapi tetap memesona. Jangan salah, biar begitu ia pernah menjalin sebuah hubungan yang disebut pacaran, walaupun tidak pernah berlangsung lama.
Sejak patah, Elzora menyerah dan berhenti sembarangan menjatuhkan tambatan hati. Terlebih dengan tipikal laki-laki semacam Andrean. Walaupun sebelum mengenalnya, tipikal bad boy memang seleranya. Telah dikutuk pula hatinya untuk tidak jatuh pada lubang yang sama.
Cinta itu rumit, pasti berujung sakit.
Meski terkesan cuek ia tak pernah pandang bulu untuk bergaul. Cukup dengan mereka yang nyambung diajak ngobrol. Hal terpenting, tidak saling hujat dari belakang. Tidak banyak menuntut hal yang hanya menyusahkan diri sendiri. Sederhanalah, alasan bahagia sesungguhnya. Manusia munafik di bumi sudah banyak. Manusia baik tak banyak tingkah yang hampir punah. Punah berarti langka bukan? Menjadi seorang pelajar harus banyak belajar. Belajar juga tidak melulu di kelas dan buku. Ilmu bisa didapat dari mana saja, tong sampah sekalipun. Pernah dengar? Tong kosong nyaring bunyinya. Jika mendengar kata tong sampah, Elzora ingat seseorang. Sepasang manusia menyebalkan yang membuat ia takut menjatuhkan perasaan. Mereka, Andrean dan Gisel.