Panas terik yang tenang dan hening, tiba-tiba menjadi sebuah pijakan peperangan ketika banyak media mengabarkan sebuah berita yang tidak kuduga. Jantungku seolah berhenti melihat seseorang yang amat kukenal diapit oleh beberapa pria tegap berseragam serba hitam, jalan beriringan dengan pengamanan paling ketat yang pernah kulihat.
Aku membelalakkan mata, terperanjat dari kursi kerjaku, nyaris melompat dan berteriak kencang, membuat seisi ruangan terkejut mendengarku. Tiba-tiba suara nyaring dari telepon kantor terdengar, membuatku mematung seketika.
“Miss Hannah …,” ucap salah satu rekan kerjaku, aku menggelengkan kepala.
“Tidak, ini tidak mungkin,” lirihku. “Tidak …!” aku berteriak, hatiku tak siap untuk hal semacam ini.
“Miss Hannah diminta untuk datang,” katanya, aku paham aku tidak mungkin hanya diam saja.
Tidak menggubris siapa pun lagi, aku langsung berlari keluar ruangan, tidak membawa apa pun, hanya diriku saja. Pikiran-pikiran berkecamuk, skenario-skenario buruk telah siap menghantamku, aku seakan melayang, aku takut.
Di luar gedung, sopirku sudah menunggu dengan sebuah mobil gelap, seakan ia sudah tau dari awal, dan bersiap sebelumnya, meminimalisir semuanya. Aku langsung melompat ke dalam mobil yang sudah terbuka, cemas, takut, dan seluruh tubuhku rasanya bergetar hebat.
Mobil melaju, jantungku semakin berdegup tak karuan, tempatku bekerja dengan tujuanku tidak terlalu jauh, tapi rasanya seperti seharian menunggu mobil sampai. Macet tiba-tiba menahan laju mobil yang kutumpangi, aku semakin resah dan gusar. Tak ada yang bisa kulakukan selain meremas kemeja bagian bawahku, menyalurkan setiap panik yang tak perlu repot aku tepik.
Akhirnya tempat tujuan terlihat, aku menarik napas panjang. Begitu mobil berhenti aku langsung membuka pintu mobil dan berlari. Seorang petugas yang sedang berjaga mengenaliku, aku langsung diarahkan ke lorong yang sepi, aku terus berlari, hingga petugas mengarahkanku ke sebuah ruangan.
Aku bergegas masuk ke ruangan itu, ini merupakan ruang kunjungan, perasaanku tak karuan, sangat kacau, takut, juga terasa menyakitkan. Tapi, aku harus bertemu dengannya, meskipun hanya sekali saja, aku harus bertemu dengan dia.
Aku harus menunggu, ruangan ini dingin begitu aku memasukinya, menambah setiap duka dalam hatiku. Tak berselang lama dia datang, napasku memburu, kini dia berada di hadapanku dengan kondisi yang sungguh memprihatinkan. Nyaliku menciut melihat raut wajahnya yang terlihat kosong itu, aku terus menatapnya lekat-lekat. Pucat, lelah, juga berantakan, aku benar-benar menggila melihat keadaannya.