Hening, ruangan tempatku bertemu dengan Mali terasa semakin mencekam dan semakin suram setelah mendengar jatuhan talak darinya. Aku wanita dewasa, aku paham apa yang diucapkannya, aku paham tujuan akhirnya, tapi aku mencoba untuk menutup telinga, aku tidak ingin berpisah dengannya dengan keadaan seperti ini.
Aku mengangkat kepalaku perlahan-lahan, menatap matanya, yang juga menatap kepadaku, air matanya kulihat menetes, dadaku semakin berdebar, nyeri, ucapannya seperti jarum yang menusuk-nusuk hatiku.
Aku tau ini keputusan yang sulit, tapi dia berani ambil tindakan dan keputusan seperti ini, kupikir dia sangat ceroboh, dia tidak mungkin membuangku, bukan? “Apa maksudmu, Mali?” tanyaku lemah, memastikan sesuatu, aku tidak marah, aku hanya terkejut. Aku tidak berbohong, aku sangat terkejut dengan keputusan suamiku ini, aku tidak keberatan jika harus menunggu lama.
“Hannah, hukuman sepuluh tahun belum sepenuhnya diputuskan, sidang selanjutnya adalah putusan yang mutlak, aku tidak akan mengajukan banding, aku tidak bisa menjamin bisa bertemu denganmu lagi atau tidak,” katanya.
Aku mengeratkan genggaman tanganku, dia pun juga melakukan hal yang sama, aku sungguh mencintai Mali, aku tidak bisa melakukan ini. Siapa yang akan menerima keputusan mendadak seperti ini, di kantor polisi pula.
Mali mengetuk dinding kaca yang memisahkan kami ini, meminta aku untuk mengangkat kepalaku, dan menatap dirinya kembali.
“Hannah, aku melakukan kesalahan paling besar, kamu tau sendiri hukum di negeri ini seperti apa. Aku tidak mau meninggalkan penyesalan terhadapmu, jadi mari kita akhiri, aku bukan tidak mencintaimu, justru karena aku terlalu mencintaimu, aku memilih jalan ini. Ini satu-satunya, yang bisa aku berikan padamu, Hannah, ini yang bisa aku berikan untuk terakhir kalinya, Hannah,” jelasnya.
Penjelasannya tidak membuatku lega, hanya menambah perasaan bersalah padanya, atas perlakuanku padanya selama ini. Aku terlalu semangat bekerja, hingga selalu meninggalkannya seorang diri. Aku paham kenapa dirinya memilih barang-barang terlarang itu, dibandingkan menemuiku di tempat kerja. Dia hanya ingin membiarkanku menikmati pekerjaanku, dia tidak ingin menggangguku. Tapi, dengan seenaknya aku malah membiarkan dia terjerumus dalam kegelapan.
“Pulanglah, kejar kebahagiaanmu yang lain, Hannah. Aku akan jauh lebih bahagia jika dirimu bisa menemukan lebih cepat penggantiku, Hannah. Aku tidak ingin menyesal dengan keputusanku, aku tidak akan marah, jadi pergilah, temukan laki-laki lain, yang akan lebih membahagiakanmu, Hannah, pastikan mereka tidak sepertiku, aku mencintaimu, sungguh sangat mencintaimu,” pungkasnya, dia tersenyum padaku.
“Ya Tuhan, kenapa harus seperti ini? Aku juga mencintaimu, akan sulit bagiku untuk melakukan itu, Mali, aku tidak bisa,” kataku, menangis, mencium kedua tangannya.
“Coba dulu, Hannah, kamu tidak harus langsung melakukannya, bersenang-senanglah dulu dengan teman-temanmu, biarkan waktu yang memberikan pertemuan indah itu padamu. Kamu berhak bahagia, aku berani jamin kamu akan jauh lebih bahagia tanpa aku,” jawab Mali.
“Bagaimana caranya, Mali? Bagaimana caranya kamu bisa memastikan itu, kamu saja tidak melihatku, Mali, kamu saja jauh dariku, bagaimana caranya, Mali? Bagaimana? Katakan padaku, bagaimana caranya?” tanyaku, frustrasi. “Mali, ini semua salahku, biarkan aku juga mendapat hukuman itu, kamu tidak bisa menanggung ini sendirian, Mali, aku juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkanmu terjerumus seperti ini, aku berhak untuk dihukum, Mali,” ujarku, masih merasa bersalah.