Seminggu sudah aku mengurung diri di kamarku, tidak melakukan apa pun, hanya termenung dan menyiksa diri. Seperti sekarang ini, aku yang terduduk di atas tempat tidur dengan perasaan sedih, kecewa dan putus asa. Aku menangkup wajahku dengan kedua tangan, mata terpejam, tapi air mataku tak mau berhenti, terus mengalir tanpa bisa aku tahan.
“Bagaimana bisa dia seperti itu padaku? Dia tega sekali padaku, bagaimana ini? Bagaimana aku melanjutkan hidup?” tanyaku pada diriku sendiri, suaraku saat ini sangat dihindari banyak orang, sungguh sarat akan kesedihan dan kepiluan.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu hampir tidak pernah berhenti aku tanyakan pada diriku sendiri. Aku terus menerus menekan diriku sendiri, terus menghantam dengan penyesalan yang berlarut-larut.
Kamarku terasa begitu sunyi tanpa dirinya yang biasa menggangguku sepulang bekerja, tanpa dirinya yang biasa menggodaku ketika aku tak sengaja mendiamkannya karena aku terlalu sibuk dengan laptopku. Ah, lagi-lagi ingatan itu yang selalu membuatku menyesal, aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Kini hanya suara jam dinding yang menemani kesunyianku, dan potret dirinya yang selalu setia berada di sampingku.
Aku terlihat sangat menyedihkan dan berantakan, aku tidak bisa seperti ini terus, aku coba bangkit. Aku berdiri dan melangkahkan kakiku ke arah cermin, melihat diriku sendiri, dan benar saja, diriku di pantulan cermin benar-benar kacau.
Aku lihat semua alat-alat kecantikan dan botol-botol parfum yang berjajar di meja rias, hatiku berdecit nyeri, biasanya dirinya selalu setia menungguku merias diri atau sekadar merawat wajah. Di sampingku, dia selalu menemaniku tepat di samping meja rias, sembari memujiku, meskipun dirinya tidak terlalu suka jika aku terlalu berlama-lama berada di depan meja rias, tapi kini …
“Aku tidak butuh ini, aku tidak butuh ini semua!”
Aku membanting botol-botol parfum ke sembarang arah. “Argh!” aku berteriak, tidak puas dengan membanting parfum, aku hempaskan semua yang berada di atas meja rias itu, aku juga membanting kursi yang biasa kududuki.
Kamarku yang memang sudah berantakan, semakin terlihat kacau, pecahan kaca di mana-mana, semuanya berhamburan, mengotori lantai dan kakiku. Aku menjatuhkan diri, mensejajarkan diriku dengan lantai, aku tidak peduli dengan serpihan-serpihan kaca yang mengenai kakiku. Hatiku sungguh terasa sakit dibandingkan luka di tubuhku, bahkan darah yang mulai mengalir di kaki dan tanganku ini, tidak menjadi soal bagiku.
Aku memukul-mukulkan tanganku pada lantai, yang justru menambah luka-luka itu semakin meluas, tapi aku tidak peduli. Pikiranku tidak jernih, aku dengan sengaja membawa serpihan-serpihan kaca itu, dan melihatnya dengan senyuman yang tentu terlihat sangat mengerikan.
“Jika itu yang dia mau, haruskah aku mengakhiri ini semua,” ucapku, tertawa getir.
Aku melihat sekelilingku, aku berpikir sudah tak pantas lagi untukku melanjutkan semuanya, apalagi seorang diri. Aku seperti orang yang tidak waras, karena saat ini aku mulai mendekatkan serpihan kaca itu pada lengan kiriku, dan berusaha menyayat-nyayatkan bagian ujung yang tajam itu.
Penglihatanku buram, tertutup butiran air mata yang memenuhi pelupuk mataku, aku benar-benar sudah tidak memperdulikan diriku sendiri lagi. Sayatan itu menimbulkan bercak merah, belum terlalu banyak, dan anehnya aku tidak merasa kesakitan, mungkin karena tubuhku mendukung, aku tidak tau.
“Hannah!” teriak seseorang di luar kamar. “Hannah, buka!” teriaknya lagi. “Hannah, kau tidak sendirian, jangan seperti ini! Hannah buka pintunya!” teriaknya lebih nyaring, sembari menggedor pintu kamarku.
Aku menghiraukan teriakan mereka, meskipun aku familiar dengan suaranya, aku tidak peduli siapa pun yang datang, karena aku tidak butuh mereka, tidak ada yang bisa mencegahku sekarang, jadi biarkan saja diriku rusak.
“Hannah! Ya Tuhan!” Aku tidak sadar jika pintu kamar sudah terbuka, sepertinya seseorang terpaksa mendobrak pintu kamarku.