Persiapan konferensi pers sudah hampir selesai, wartawan dari berbagai media sudah mulai berdatangan, sepertinya mereka juga menantikan klarifikasi dariku atas kejadian tempo hari itu.
Sementara itu, komentar di lini masa kami sudah tidak bisa dikendalikan, aku baru menyadari Delvin ternyata sangatlah populer di kalangan remaja. Hampir semua komentar yang terbaca olehku, berisi umpatan dan mereka terus menuntutku untuk mengusut tuntas kejadian ini.
“Hannah?!”
“Bella, aku di sini,” ucapku, lemah.
“Apa yang terjadi? Kau diserang, Hannah? Dan, hey! Kau terluka? Apa lukanya parah? Katakan padaku, apa aku harus terbang ke sana, Hannah?” berondong Bella, di seberang telepon sana.
“Aku baik-baik saja, Bella,” jawabku masih lesu. “Sungguh, aku baik-baik saja, aku terselamatkan oleh Delvin,” lanjutku.
“Oh, astaga, syukurlah,” ucapnya, Bella terdengar menghela napas lega. “Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang? Kudengar fans Delvin sempat mengirim ancaman, kuharap mereka masih di batas wajar, aku takut sekali bila berurusan dengan fans fanatik seperti itu,” lanjutnya.
“Kau benar, ini kacau sekali, ini semua salahku. Aku merepotkan semua tim, dan sekarang mereka terpaksa harus selalu waspada, kita tidak tau ancaman akan datang dari mana. Ah, itu semua tidak akan terjadi, jika aku diam di tempat, ini semua salahku, Bella, Delvin terluka karena aku, dan mereka marah itu sudah seharusnya,” jelasku padanya.
“Hey, hey, apa yang kau katakan? Ah, sudahlah, kau tidak akan mendengarkanku jika seperti ini. Tapi, jangan takut, banyak orang yang peduli padamu, jangan terus merasa kau bukan siapa-siapa, jika kau butuh aku, aku akan terbang saat ini juga,” katanya.
“Kuharap juga begitu, tapi—“
“Miss, Delvin sudah disini,” lapor Lucas, aku mengangguk padanya.
“Bella, aku akan menghubungimu nanti, aku harus segera menyelesaikan kekacauan ini,” lanjutku.
“Baiklah, ingat jika butuh aku, kau tinggal menghubungiku, aku akan terbang kapan pun itu,” jawabnya.
“Aku baik-baik saja,” pungkasku, dan memutuskan panggilan dengan Bella setelah mengatakan satu dan lain hal. Aku sangat merepotkan banyak orang, Bella pasti sedang terjaga di depan layar laptopnya menyaksikan kekacauan yang kubuat. Ah, sampai kapan aku harus membuat semua orang berlari seperti ini, aku benar-benar pengacau.
“Miss Hannah baik-baik saja? Maafkan aku, Miss, harusnya aku tidak pergi ke fan meeting, aku harusnya di sini saja menunggu hasil dari rumah sakit, maafkan aku, Miss, ini semua salahku,” sesal Delvin, dia masuk tanpa permisi, dan yang lebih membuatku terkejut dia berlutut di depanku, memegang tanganku. Sesaat aku menikmati perlakuan itu, aku terbuai oleh sentuhan Delvin, untung saja suara notifikasi ponselku menyadarkan lamunanku, yang tak seharusnya aku lakukan di saat genting seperti ini.
“Delvin,” tegurku. “Tidak harus seperti ini, aku mengerti, maafkan aku harus melibatkanmu dalam masalah, aku tidak punya pilihan lain, kita harus melakukan ini, maaf kau tidak bisa menolak meskipun keberatan, maafkan aku, dan kuharap semua ini cukup sebagai permintaan maafku,” jelasku padanya.
“Aku tidak keberatan sama sekali, Miss Hannah, ini juga bagian dari tanggung jawabku, Miss Hannah diserang, film yang sedang digarap Miss Hannah terancam karena aku, maafkan aku, Miss Hannah,” cicit Delvin.
“Ini sudah terjadi, Delvin, mari kita hadapi saja,” kataku.
***
Tempat yang sudah disepakati untuk konferensi pers sudah siap, meja panjang yang ditutup oleh kain hitam sudah sedia. Mikrofon dari berbagai media tertata rapi di meja, tidak ada spanduk film, tidak ada apa pun yang berhubungan dengan pekerjaanku.
Aku keluar dari ruang tunggu diikuti Delvin dan beberapa timku, termasuk Randy, Lucy juga Lucas. Suasana menjadi riuh, suara jepretan kamera saling bersahutan, lengkap dengan kilatan cahaya yang dihasilkan dari bidikan kamera mereka.
Aku gugup, ini kali pertama aku melakukan konferensi pers sebelum film rampung digarap, dan ini menjadi pengalaman paling menyakitkan setelah kejadian enam bulan lalu. Aku kira semuanya bisa berjalan dengan lebih santai, tapi ternyata ingatan enam bulan lalu kembali lagi menusuk pikiranku.
Aku mendudukkan diri di tengah memimpin konferensi pers. Aku sejatinya tidak siap menerima rentetan pertanyaan yang akan wartawan lontarkan, tapi aku juga tidak mungkin diam saja.