Aku sedang memegang ponselku di balik kemudi, menunggu kedatangan Pobby yang sudah terlalu molor dari waktu yang dijanjikan. Mobilku sudah terparkir di depan persimpangan jalan yang diarahkan Pobby, tapi dia tak kunjung datang.
Hari ini, pekerjaanku telah usai, promosi film sedang berlangsung dan aku memutuskan untuk pulang kembali ke kotaku. Aku ingin mengistirahatkan diri, meskipun aku enggan untuk pulang sebenarnya, karena banyak kenangan manis yang tertinggal di sana.
Kenangan bersama Delvin terutama, omong-omong kami belum sempat mengabari satu sama lain. Kulihat dia sedang sibuk dengan persiapan konsernya, dan aku juga tidak punya alasan untuk menghubungi Delvin lebih dulu.
“Hannah!” teriak Pobby, berlari-lari kecil ke arah mobilku, entah dari mana datangnya, aku terlalu fokus pada kendaraan yang berlalu lalang tadi. Pobby di seberang sana, ia mengambil ancang-ancang untuk menyeberang. Begitu lampu pemberitahuan berganti, Pobby akhirnya menyeberang.
“Dari mana saja, kau?” semburku, aku tak tahan lagi. “Berani-beraninya kau memanggangku di dalam mobil seperti ini,” gerutuku.
Pobby hanya menyeringai menanggapi wajah masamku. “Aku sudah bersiap-siap tadi, sungguh, tapi kucingku tidak mau kutinggalkan,” katanya beralasan, aku hanya memutar bola mataku, malas menanggapinya. “Hey, ayolah, aku sungguh-sungguh, jika tak percaya kau telepon saja kucingku,” guraunya.
“Astaga, kau pikir aku ini apa? Aku tidak akan percaya begitu saja, kucing? Yang benar saja,” cibirku.
“Maafkan aku, oke? Jadi, bagaimana aku sudah di sini, apa kita batalkan saja rencana kita?” katanya, mengundang tatapan sinis dariku.
“Ya Tuhan, aku sudah menunggumu hampir sepuluh menit di sini, dan kau seenaknya ingin membatalkan rencana kita, sadarlah Pobby. Kau tau, aku sudah menunggu kesempatan ini dari lama,” balasku.
Pobby tersenyum jahil. “Kau sangat ingin bersenang-senang denganku rupanya. Oke, cukup tau saja, kau ternyata begitu tergila-gila padaku,” ujarnya menatapku, membuatku bergidik ngeri. “Omong-omong, berapa lama lagi aku harus berdiri seperti ini? Menurutku, ini hanya menurutku, bukankah lebih baik berbincang di dalam sana?” Dia menunjuk ke samping kursi yang kutempati. “Aku hampir menjadi Pobby kering di luar sini,” celetuknya.
Aku tersenyum. “Baiklah, baiklah, masuklah, hari ini aku yang mengemudi,” kataku.
Hari ini aku menagih janji Pobby untuk menghabiskan waktu seharian denganku, itulah kenapa aku terburu-buru pulang dari pantai. Hari di mana aku akhirnya bertualang dengan seorang teman, adalah hari yang paling membahagiakan untukku. Temanku memang bukan hanya Pobby saja, tapi dia yang paling mengerti aku, dan dia yang selalu tepat dalam memberikan saran tanpa menghakimiku lebih dulu. Aku merasa nyaman dan aman ketika bersamanya.
Pobby segera membuka pintu mobil di sebelah kanan, ia masuk begitu saja tanpa merasa canggung. Pobby membuka tas dan kemejanya tanpa ragu, kemudian melemparnya ke kursi belakang. “Ini jauh lebih baik,” katanya, menjulurkan kepalanya ke luar jendela mobil.
“Ya! Aku tidak menyangka kau seperti ini,” kataku.
“Kenapa? Kau menyesal baru melihat otot-otot cantikku ini?” ujarnya, tak lupa memamerkan lengannya yang gagah berotot itu.
“Wah, kau begitu percaya diri,” ucapku, terheran-heran.
“Tolong kendalikan dirimu, matamu hampir saja merobek otot-otot kesayanganku ini,” cicitnya.
“Astaga! Ya!” Aku melemparnya dengan bantal leher yang sedang kugunakan, tingkahnya benar-benar di luar nalar.
Pobby tak menghindar, ia menerima dengan ikhlas semua perbuatanku padanya. “Aku senang kau bahagia, Hannah, kuharap kau seterusnya seperti ini, berjanjilah padaku,” katanya tiba-tiba.
Aku terdiam memandangnya, dia benar, sedari tadi aku tak berhenti tersenyum dan tertawa karena tingkah konyolnya. Sudah kubilang, ketika bersamanya aku merasa aman dan tidak perlu memikirkan hal-hal yang tidak-tidak. Ketika bersamanya, seakan dunia hanya berpusat padaku.
“Sudahlah, kita harus ke tempat pertama wish list-ku,” kilahku.
“Dan apakah itu?” tanyanya.
“Kau akan tau nanti,” pungkasku.
***
Telingaku dimanjakan oleh alunan musik dari Pacific Baroque Orchestra, ini sungguh menawan dan menghanyutkan. Iya, aku dan Pobby memilih tempat yang paling bersejarah di Vancouver, sebagai destinasi pertamaku. Aku akhirnya bisa berkunjung ke Orpheum Theatre, aku bisa katakan dengan bangga, jika teater ini paling indah dibanding teater-teater lainnya.
“Ini mengagumkan, hatiku damai berada di sini,” ujarku, menatap Pobby yang tengah tersenyum padaku.
Menyandang teater paling tua di Vancouver, membuatku ikut merasakan suasana sakral di dalamnya. Teater ini begitu megah, memanjakan mata ke sudut mana pun aku melirik. Aku terhanyut bersama permainan lihai dari pemain orkestra di depan sana, hatiku rasanya penuh dengan suka cita. Sungguh, aku tidak pernah salah memilih tempat, ini saat yang tepat untukku melepaskan semua penat, dan membiarkan musik menyembuhkan setiap lukaku.