Mataku berpendar, aku tak ingat apa yang terakhir kulakukan. Aku bergerak gelisah, tubuhku menempel dengan sofa, entah siapa yang memindahkanku. Sayup-sayup kudengar seorang wanita tengah berjalan ke sana ke mari, menunduk dan memegang ponsel. Aku tak bisa memastikan siapa wanita itu, aku hanya melihatnya melalui bayangan di dinding.
Kepalaku pening, siaran berita yang mengabarkan kedekatanku dengan Delvin, kembali berputar di benakku. Aku berusaha untuk mengusir perkataan penyiar berita itu, yang terus berputar di telingaku, seperti kaset rusak.
Aku coba pejamkan mata, berusaha untuk lari dari kenyataan, namun semakin aku berusaha, suara-suara itu semakin nyaring terdengar. “Argh ….” Entah kenapa tubuhku terasa ngilu. “Ah!” Aku berusaha untuk bangun, tapi aku terlempar kembali.
“Hannah?” seru wanita yang kulihat lewat bayangan tadi, ia buru-buru mendekat. “Hannah, aku di sini,” ucapnya.
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, mencari fokus demi melihat siapa wanita di depanku ini. “Be-Bella?” Sepertinya memang Bella, aku coba fokuskan kembali mataku, namun. “Argh ….” Serangan mendadak di kepalaku lebih dulu menghantamku, aku memegang kepalaku, juga meremas rambutku kuat-kuat. Tak kusangka, serangan menyebalkan ini kurasakan kembali setelah sekian lama.
“Hannah!” Bella menahan tanganku, dan memaksa melepaskannya dari kepalaku. “Hannah, lepas, jangan seperti ini,” ucapnya, panik.
“Sakit …,” lirihku, Bella memelukku erat.
“Aku tau, Hannah. Tapi kumohon, jangan seperti ini, kau baru saja tersadar, aku sangat takut ketika kau belum juga terbangun, bahkan setelah tiga jam berlalu,” ungkapnya. “Berhenti, Hannah, dokter baru saja pergi,” lanjutnya.
Ah, aku ternyata tak sadarkan diri tadi, tiga jam lamanya. Apa?! Astaga, aku tak sadarkan diri selama tiga jam? Tiga jam! Sebenarnya apa yang sudah terjadi padaku? Ingatanku hanya berfokus pada siaran TV, aku tidak ingat apa yang terjadi sebelumnya.
“Bella, aku ingin minum,” ucapku, lemah.
Bella langsung melepaskan pelukannya. “Tunggu sebentar,” katanya, seraya berlari ke dapur.
Aku menatap langit-langit, potretku dan Delvin tergambar jelas di atas sana. Aku menghancurkan segalanya, aku bodoh, aku wanita tua paling bodoh. Apa yang harus aku lakukan? Kepalaku semakin sakit memikirkannya.
“Ini minumlah,” ucap Bella, menyodorkan minuman hangat padaku. Aku bangun dibantu Bella, aku menerima gelas dari tangan Bella, aku meminumnya, meskipun susah payah menelannya.