Kupikir apartemenku adalah tempat paling aman yang bisa melindungiku dari marabahaya, tapi hari ini semua hal baik yang kupercayai sirna begitu saja. Kuakui aku sendirilah yang mengundang semua masalah itu terjadi, kuakui akulah yang menyebabkan semua kekacauan ini, hingga teror itu datang lagi.
Aku tidak bisa menyalahkan orang lain, karena memang akulah biang dari semua masalah yang terjadi pada hidupku, bahkan kali ini aku melibatkan orang lain dan banyak orang—lagi. Saat ini entah teror seperti apa yang sedang memburuku. Kurasakan suasana di sekitarku menjadi sangat dingin, menusuk luka lama yang belum sempat sembuh.
Bella masih memeriksa di depan sana, aku dengar dia berbicara, tapi tak jelas. “Bella, kumohon, siapa yang datang?” tanyaku, lemah, energiku habis dipacu adrenalin terus menerus. “Bella?” panggilku kembali.
Bella tidak menoleh padaku, namun seketika seseorang menyembulkan kepalanya. Aku terkejut, sesaat jantungku berhenti berdetak, aku semakin merapatkan tubuhku pada sofa. Aku memegang dadaku.
“Si-siapa … ka-kau?” tanyaku, suaraku tersekat. Apakah dia orang jahat? Tapi kenapa Bella membukakan pintu untuknya? Aku ingin berteriak, tapi mendadak aku kehilangan suaraku.
Aku tidak punya ide siapa dia, tapi yang dapat kupastikan dia seorang pria, memakai pakaian serba hitam dan wajah tertutup masker, lengkap dengan kacamata hitam. Apa dia gangster yang dikirim penggemar fanatik Delvin untuk membunuhku? Oh, Tuhan.
“Miss Hannah,” ucap pria itu. Aku sudah tidak bisa bernapas dengan tenang, rasanya ingin melarikan diri, tapi tiba-tiba saja tubuhku seakan membeku, susah digerakkan. Tubuhku yang belum pulih sepenuhnya, kembali melemah dan rasanya kematian sebentar lagi akan menjemputku.
“Hannah …,” lirih Bella. Astaga, tidak, aku tidak suka dengan ekspresi itu. Ya Tuhan, bunuh saja aku.
Pria itu membuka masker yang menutupi hampir setengah wajahnya, ia juga perlahan membuka kacamata hitamnya. Meskipun dia sudah menampakkan diri, aku tak paham siapa dia, sebab aku terlalu takut dan tertekan, hingga aku menghilangkan wajah itu dari ingatanku.
Melihatku yang masih termenung, pria itu mendekatiku, bahkan berlari dan menubrukkan tubuhnya padaku, hingga aku terdorong ke tepi sofa. “Miss Hannah, ini aku,” lirihnya. “Maafkan aku, Miss Hannah.” Deru napasnya penuh dengan penyesalan. “Miss Hannah …,” ulangnya.
Bella masih berdiri di depan pintu, melihatku dengan tatapan iba, kemudian ia menganggukkan kepalanya, seakan mengerti dengan apa yang sedang berkecamuk di benakku. “Dia Delvin, Hannah, tak perlu takut,” ungkapnya.
“Delvin?!” Seketika aku menjauhkan tubuhku, kutatap dia lamat-lamat, punggung tanganku ia kecup, membawa ingatan semu tentang dia dan permasalahan yang terjadi saat ini. “Delvin, kau … di sini?” tanyaku, tak percaya.
Dia mengangguk. “Iya, Miss Hannah, ini aku, aku di sini, maaf … maafkan aku … maaf karena aku, Miss Hannah kesulitan. Kumohon maafkan aku, Miss Hannah,” ucapnya penuh penyesalan dan sarat kesenduan.
Sempurna sudah, ingatanku berhasil aku kumpulkan, benar, dia Delvin, Delvin yang sedari tadi aku cemaskan. Ada beban berat yang seolah terbang begitu saja ketika tatap kami bertemu.
“Astaga, kau baik-baik saja? Kau tidak dikeluarkan dari agensimu? Bagaimana dengan Ainers? Mereka pasti marah, bukan?” Meskipun aku sudah tau informasinya, tapi aku ingin memastikan padanya langsung, aku ingin mendengar jawaban darinya langsung. Mataku memanas, bulir-bulirnya berjatuhan tanpa bisa kukendalikan.
Dia mengusap air mataku. “Aku tidak apa-apa, aku baik-baik saja,” ucapnya, berusaha menenangkanku. “Aku tidak kesulitan, Miss Hannah, justru aku yang membuat Miss Hannah terganggu dan ketakutan, maaf … maafkan aku, Miss Hannah,” sesalnya.