“Maksudmu apa?” tanyaku pada Lucy, kesal.
Aku marah? Sudah pasti, aku keluar rumah bukan untuk mendapat informasi tak berguna seperti ini. Satu bulan lalu, aku berusaha untuk keluar dari jeratku sendiri, dari perangkap pikiranku sendiri dan Pobby ada di dalamnya.
Hari ini tiba-tiba saja, orang yang tidak kenal dengan Pobby, mengatakan bahwa dia tidak ada di dunia ini. Jelas-jelas Pobby adalah orang yang membantuku keluar dari jerat egoisku, sudah pasti aku tidak terima.
“Tidak ada, Miss, Pobby tidak ada,” Randy yang menjawab, karena Lucy malah semakin tersedu-sedu.
“Miss harus percaya pada kami, Pobby tidak ada, Miss,” ucap Lucy, lemah.
“Astaga, kalian kenapa? Tidak ada bagaimana maksud kalian?” tanyaku.
“Begini saja, Miss ikut kami,” ujar Lucas, seraya bangkit dari duduknya.
Ekor mataku mengikuti geraknya. “Ke mana?” tanyaku.
“Ke suatu tempat,” jawab Randy.
Tanpa banyak berkata lagi, aku dibawa turun dari rooftop. Hening, sepanjang kami berjalan tidak ada satu pun yang membuka suara. Hari ini aku seperti dipaksa naik roller-coaster, dibuat bertanya-tanya, dan mereka juga permainkan perasaanku.
Tangan Lucy tak lepas memegangiku, tapi aku biarkan saja, kepalaku terlalu berisik, bahkan suara-suara di tempat makan itu kalah bising dengan isi kepalaku saat ini. Semburat senja yang mulai muncul, harusnya aku nikmati, tapi tak tau kenapa kelebat jingganya hanya membuatku semakin gelisah.
Kepalaku yang penuh asumsi menyiksa ini, semakin dibuat bingung tak kala mereka membawaku menyeberangi jalan dan membawaku ke rumah sakit. Rumah sakit? Aku bahkan tidak menyadari di depan tempat makan ini ada rumah sakit.
Dan yang lebih gila lagi, ini adalah rumah sakit yang sempat beberapa kali aku kunjungi, untuk sekadar berkonsultasi pada salah satu dokternya, dan itu pun luput dari pengawasanku. Tapi, kenapa mereka membawaku ke sini? Apa Pobby ada di sini? Itukah alasannya? Dadaku tiba-tiba saja bergemuruh, keringat mulai membasahi telapak tanganku.
Aku tidak tahan lagi. “Kenapa kalian membawaku ke sini? Apa Pobby ada di sini? Ada apa sebenarnya? Cepat katakan padaku,” tanyaku, memberondong mereka yang sejak tadi diam saja.
“Miss Hannah akan mengetahuinya sebentar lagi,” jawab Randy, sama sekali tidak membuatku tenang.
Baiklah, aku akan diam mulai sekarang. Kami pun melanjutkan langkah, menaiki anak tangga demi anak tangga, dan melewati beberapa lorong, hingga kami tiba di depan ruangan dokter yang amat ku kenal. Raut wajah mereka terlihat sangat tegang, membuatku semakin tak karuan. Oh Tuhan, ada apa sebenarnya? Ini membuat jantungku memompa lebih cepat.
Randy mengetuk pintu itu tiga kali, tak berapa lama terdengar sahutan dari dalam. “Masuklah,” ucap seorang pria.
Perlahan-lahan Randy memutar kenop pintu itu dan mendorongnya, begitu terbuka sempurna, betapa terkejutnya aku melihat seseorang di dalam sana. “Bella?!” aku berseru. “Apa yang terjadi padamu?! Astaga, kenapa kau merahasiakan tentang ini padaku?” berondongku, panik, aku bergegas masuk dan langsung memeluknya.
“Hannah …,” lirihnya.
“Kau tidak sendirian, Bella,” ucapku. “Aku ada di sini, tenanglah,” sambungku, sembari terus mengelus punggungnya. Dapat kurasakan Bella balas memelukku dengan erat, isakan tangisnya mulai terdengar, dia pasti kesulitan selama ini. Bisa-bisanya aku tidak menyadari hal besar seperti ini. “Menangislah, aku tidak akan pergi,” ujarku.