“Miss Hannah, bangunlah,” seseorang memanggilku, terpaksa aku coba membuka mataku kembali, meskipun sulit, aku coba perlahan-lahan dan akhirnya aku bisa melihat sekitar.
Kalian harus tau, aku ini dijebak! Aku dipaksa untuk menjadi seorang pasien, mereka memperlakukanku seolah-olah aku ini tidak berdaya. Mereka mengurungku di ruangan putih ini, sungguh menyebalkan. Tapi, aku tidak bisa memberontak lagi, jika aku melakukannya, mereka akan menyuntikku lagi, seperti beberapa hari yang lalu.
Setelah kejadian waktu itu, hari-hariku dihabiskan di rumah sakit ini, setiap hari ada perawat yang mendatangiku, memberikan obat untuk segera kuminum seperti kali ini. “Ini obatnya, Miss Hannah,” katanya, seraya menyodorkan lima butir obat dan satu gelas air minum.
Perlu kukatakan, jika obat ini sangat keras, efek sampingnya membuat tubuhku selalu gemetar, dadaku berdebar dan kepalaku rasanya berat sekali. Dokter sudah mengetahui ini, dan aku juga sudah memberitahunya, dan memintanya untuk tidak memberiku obat-obatan lagi, tapi tidak ada pilihan lain untuk sekarang, katanya. Karena alasan itu, Dokter Michael terus mencari resep sempurna untukku, agar efeknya tidak terlalu menyiksaku.
Selain harus meminum obat yang amat kubenci itu, setiap harinya ada sesi wawancara juga, yang terasa lebih mirip interogasi bagiku. Aku muak, aku lelah, tapi mereka tidak membiarkanku untuk pergi dari tempat terkutuk ini.
Meskipun begitu, untunglah mereka tidak melulu mengurungku di ruangan ini, dalam satu minggu ada waktu di mana aku dan pasien lainnya, diijinkan untuk berjalan-jalan di luar. Tidak jauh, hanya mengitari halaman, dan lorong-lorong rumah sakit ini yang kebetulan ditumbuhi tanaman menenangkan.
Mereka bilang, kesempatan seperti itu bagus untuk mengembangkan jiwa sosialku. Aku diharapkan bisa bercengkerama dengan yang lainnya, berbaur dengan mereka. Katanya, agar aku cepat menyadari kehidupan nyataku, dan membedakan khayalanku, sungguh itu semua omong kosong.
Kebetulan hari ini jadwalku tiba, aku diperbolehkan keluar sebentar, menghirup udara bebas secukupnya. Aku keluar dari ruangan menyesakkan itu, kusapa semua orang, baik yang mengenalku maupun tidak. Aku berusaha tersenyum, sedikit bercakap-cakap, dan menyapa tanaman di sekitarku.
Aku terus melangkah, mengikuti keinginan tubuhku. Menghirup oksigen bersih beraroma tumbuhan, tak lupa mengedarkan penglihatanku untuk persediaan satu minggu ke depan. Setiap aku keluar ruangan, tidak pernah ada yang berubah, hingga dari kejauhan sana, kulihat seseorang melambaikan tangannya padaku.
“Pobby?” Aku tersentak begitu menyadari seseorang di kejauhan sana, aku memfokuskan mataku, meyakinkan diriku sendiri. Benar! Itu Pobby. Aku bergegas, mempercepat langkahku demi menggapai tempatnya. “Pobby ….” Dia pasti ingin menjemputku, dia pasti akan membantuku keluar dari sini.
Pobby semakin jelas terlihat, dia tersenyum padaku, Pobby nyata, sekarang semakin yakin saja, mereka semua membohongiku. Pobby ada, dia datang, dia menjemputku, dia di depan sana. Aku semakin mempercepat langkahku, tidak sabar ingin memeluknya. Aku berlari, sedangkan di seberang sana Pobby membuka tangannya lebar, menantiku. Aku senang sekali, dia ada.
“Pobby … kau … datang! Pobby bawa aku pergi dari sini!” tak sengaja aku berteriak, mengundang orang-orang yang berjaga di sana datang mengerubungiku. Padahal jarakku dengan Pobby tinggal beberapa langkah lagi, tapi orang-orang itu dengan sigap menghadangku.