“Kuharap kita tidak pernah bertemu lagi,” ucap Dokter Michael ketika aku akhirnya “dibebaskan”, terngiang-ngiang di telingaku selalu. Aku tidak menyangka akhirnya aku sudah keluar dari rumah sakit itu.
Dua tahun sudah, aku akhirnya bisa kembali hidup normal, layaknya seorang wanita karir. Iya, aku sudah kembali lagi bekerja.
Masih segar di ingatanku bagaimana belahan jiwaku harus berhadapan dengan konsekuensinya, yang mengharuskan ia berada jauh dari napasku. Bukan hanya ia yang harus menjalani masa hukuman, aku juga menerima hukuman yang sama, bahkan sepertinya ini jauh lebih berat, apa lagi dengan rasa bersalah yang terus kupikul ke mana-mana.
Seolah semesta belum cukup mengujiku, aku dipaksa untuk menelan pil pahit lainnya. Aku harus menerima keputusan paling menyakitkan sepanjang hidupku. Di mana dirinya, mengambil keputusan untuk berpisah denganku. Namun, bukan itu yang lebih menyakitkan, tapi permintaannya yang ingin melepas ikatan denganku, jauh lebih membuatku terpukul dan terpuruk.
“Aku ingin kita berpisah, Hannah,” ucapnya kala itu, hancur diriku, jatuh berkeping-keping, hancur lebur, berantakan dan terpecah-pecah.
Dalam kesendirianku, dengan sengaja aku memicu hal lainnya keluar dari jiwaku, hingga wujudnya, aku percayai hidup dan menjagaku. Kemudian idola muda nan pemberani, hadir menyapaku mengobati hari-hari sepi lainnya. Tanpa sadar aku bermain api untuk memenuhi keegoisanku, sampai-sampai aku hilang kendali dan terlalu menuntut, membuatnya terlalu jatuh padaku.
“Aku jatuh cinta pada Miss Hannah, tolong ijinkan aku untuk membahagiakan Miss Hannah dengan caraku,” pinta pria idola itu padaku di awal pertemuan kami.
Lama aku bermain-main dengannya juga dengan perasaannya. Kami bersenang-senang, berguling, bermesraan, berbagi peluh bersama, memacu gairah membara. Tanpa kenal lelah, tanpa kenal waktu, dan tanpa kenal tempat, di mobil, di apartemenku, di rumahnya, bahkan di tempatnya bekerja sekalipun. Kami membelah malam mengabaikan sorak sorai penggemarnya.
Kebersamaanku dengannya pun tidak mudah, banyak halangannya, banyak liku-likunya. Bahkan pernah, aku harus berurusan dengan teror-teror yang membuatku sakit dan bersembunyi.
Hubungan tanpa status yang sempat ingin kunaikkan levelnya, tak terwujud, sebab dirinya jauh lebih dewasa dibandingkan aku. Kami pun lepas, dan aku kembali lagi pada wujud khayal yang membuatku terkurung lama dan diasingkan dari orang-orang yang kucinta.
Hingga beberapa waktu lalu, aku mendengar kabar dari teman-temanku, bahwa dialah dalang dari kesembuhanku ini. Dia menyadari lebih dulu tentang keadaanku, lalu ia mengumpulkan teman-temanku untuk membujuk diriku agar terlepas dari bayang semu itu.
Dia merasa sangat bersalah terhadapku, maka ia putuskan untuk menyadarkanku akan keberadaan orang lain yang tak seharusnya aku percaya. Dia bilang, “Ini hal terakhir yang bisa aku berikan pada Miss Hannah, anggaplah ini sebagai penebusanku atas kesakitan yang aku datangkan pada Miss Hannah, sekali lagi, maafkan aku dan hiduplah lebih tenang mulai sekarang.”
Awalnya aku marah, aku kecewa, dan tak menerima apa pun yang orang lain katakan tentang kebenaran itu, namun pada akhirnya aku amat sangat bersyukur. Untunglah, ia segera menyadari kebodohanku, jika dia memilih mengabaikanku, kemungkinan besar hingga detik ini aku masih hidup dengan mempercayai dia yang tak seharusnya ada. Sekarang, aku sangat bahagia, dan mulai lagi menikmati perjalanan hidupku yang baru.
Sesi penyembuhanku memanglah menyita setengah kewarasanku, tapi bonusnya aku sekarang bisa lebih mengenal diriku ini.
You’re the most important person in your life, pernyataan itu benar adanya, hadirnya kita adalah yang paling penting untuk diri kita, jadi tak ada salahnya lebih mengenal diri kita dan lebih menghargai keberadaan kita.
Kadang kita selalu memperhatikan hal-hal kecil pada orang lain, bahkan terlalu mengkhawatirkan orang yang bahkan mereka tau kita hidup pun tidak. Atau mengharapkan balasan orang lain dari perhatian kita pada mereka. Padahal, tubuh kita jauh lebih membutuhkan perhatian kita daripada perhatian orang lain, jadi sadarlah mulai sekarang. Dirimu lebih membutuhkanmu.
Hari ini, setelah aku selesai dengan krisis diriku, aku kembali menggali semangat berkaryaku, aku kembali bekerja dan menggarap proyek baru. Aku kembali berjibaku dengan waktu, menembus nalar demi mewujudkan sebuah narasi menjadi adegan yang memiliki titik temu.
“Cut!” teriakku menggema ke semua sudut ruangan di adegan terakhir hari ini. Suasana syuting masih diselimuti duka, sendu, dan penuh air mata, terlihat banyak wajah yang ditekuk dan menunduk.
“Huh, baru kali ini aku menyaksikan sendiri ending sebuah film yang menyedihkan seperti ini,” komentar Randy, dia masih setia bekerja dan membantuku.
“Kau menangis?” tanyaku, sedikit menggodanya.
“Siapa yang tidak akan ikut meneteskan air mata melihat adegan seperti ini, Miss Hannah?” celetuknya. “Siapa yang menulis skenario ini?” tanyanya kemudian.
“Aku,” jawabku, tersenyum padanya. “Apa aku berhasil, Randy? Orang-orang akan suka dengan film ini, bukan?” tanyaku, penasaran. Akhirnya skenario yang selalu ingin kutulis dan kugarap sendiri terwujud.
Randy menatapku, sepertinya ia tidak menyangka aku menulis skenario film ini. “Ini luar biasa, Miss Hannah, brilliant, selamat, Miss Hannah berhasil, aku tidak sabar untuk menonton film ini secara utuh, dari awal saja aku sudah terguncang,” jawabnya, menggebu-gebu.
Hatiku lega, meskipun belum rampung, setidaknya dengan kesan Randy pada skenarioku membuatku sedikit percaya diri. “Syukurlah, aku juga tidak sabar dengan hasilnya,” kataku. “Sudahlah, kau bisa jaga rahasia, bukan? Tolong, apa pun yang aku katakan hari ini, orang lain tak perlu tau,” pintaku, dia membalas dengan menutup mulutnya dan menggerakkan tangannya seolah-olah sedang mengunci mulutnya, aku pun tersenyum melihat tingkahnya itu. “Terima kasih, aku ingin menenangkan diri dulu, aku istirahat sebentar,” pamitku.
“Silakan, take your time,” serunya, ketika aku berlalu dari sana.