“Dad?” suara si kecil memanggil ayahnya. “Dad, where are you?” panggilnya, putus asa, sebab ayahnya tak kunjung datang.
Ayahnya yang terbaring di sofa, seketika bangkit, juga tergesa-gesa menghampiri si kecil, khawatir sesuatu yang buruk terjadi. “I am here,” seru sang ayah. “Buddy, what happened?” tanya ayahnya kemudian, seraya menggendong tubuh mungil itu dengan sekali tarik.
“Daddy, I am sad,” ucap si kecil, sendu di gendongan ayahnya.
Sang ayah pun terkejut mendengar penuturan anak laki-lakinya itu, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. “Sad? Why?” tanya ayahnya lembut.
“Bolehkah aku menangis, Daddy?” Alih-alih menjawab, si kecil balik bertanya, dengan polosnya.
“Of course, Buddy,” jawab sang Ayah, meskipun belum menangkap apa yang sebenarnya telah terjadi pada anak laki-lakinya itu.
“Tapi, aku ini laki-laki, Daddy, laki-laki tidak boleh menangis,” ucapnya, wajahnya ia tekuk, suaranya pun kecil nyaris tak terdengar.
Sang ayah mengernyitkan dahinya dalam, semakin bingung dengan arah pembicaraan anaknya ini. “Siapa yang melarangmu? Siapa pun boleh menangis, Sayang, tanpa terkecuali, menangis itu normal,” jawab ayahnya, tenang.
“Tapi, aku ini laki-laki, Dad, mereka bilang laki-laki tidak boleh menangis,” katanya lagi.
“Hey, Buddy, laki-laki juga boleh menangis, menangis bukan berarti kita lemah, itu normal dan alami sekali, tidak perlu khawatir, jika itu akan membuatmu lega, menangislah,” jelas ayahnya, diusapnya lembut pipi yang lebih mirip adonan roti itu.
“Dad tidak akan marah jika aku menangis?” tanyanya, berat sekali sepertinya.
“Of course not, kamu boleh menangis tanpa rasa takut, jangan khawatir,” jawab ayahnya.
“Baiklah,” ucap anak itu, menunduk.
“Jadi, apa yang membuatmu ingin menangis, Buddy?” ayahnya kembali bertanya, hati-hati sekali, sedang aku tidak ikut berkomentar, diam saja memperhatikan mereka dari sofa, anak kecil itu pasti sedang dilema, malang sekali.
“Luna tidak ingin bermain denganku lagi, aku sedih sekali, Daddy, dia akan pergi dari sini, apa yang harus kulakukan?” ungkapnya. Luna adalah anak tetangga kami, alias putri dari sahabatku, Bella.
Informasi itu membuatku tertegun, begitu pun dengan ayahnya. Setahuku Bella tidak merencanakan pindah dari sini.
Ayahnya terlihat bingung menghadapi pertanyaan anak kami itu, dia melirik ke arahku, aku balas menatapnya. “Persoalan yang sangat berat. Apa yang harus kukatakan?” Gerak bibirnya terbaca olehku, aku tersenyum untuk meresponsnya, lalu mengangkat kedua bahuku, menandakan aku pun tidak tau harus menjawab apa, sungguh berat sekali.
Oh Tuhan, anakku menggemaskan sekali.
“Huh.” Si kecil menghembuskan napasnya, berat. “Tapi, karena memikirkannya terus aku jadi lapar, Daddy,” ucap si kecil kemudian, mencebikkan mulutnya.
“Kamu lapar, Sayang,” aku langsung menyambar, lalu bangkit dan menghampirinya. “Jagoan Mommy menggemaskan sekali, tunggu oke, Mommy akan buatkan makanan untukmu,” kataku, memainkan kedua pipinya.
“Aku sedih, Luna akan pergi, tapi aku juga lapar, Mommy,” katanya.
“Tidak apa-apa, kamu boleh sedih, biarkan Mommy membuat makanan untukmu, oke Jagoan?” seru ayahnya, seraya mengusap rambutnya.
“Oke,” jawabnya, masih sedih.
“Sayang.” Aku mengangguk paham, segera saja aku melangkahkan kakiku, meninggalkan mereka untuk membuatkan makanan.
Lima tahun sudah, Mali akhirnya kembali padaku. Kami memutuskan untuk kembali bersama, mengarungi bahtera rumah tangga yang selalu aku damba. Tentu aku mengatakan padanya tentang keegoisanku terhadap Delvin. Awalnya aku takut, tapi dengan penuh kebijaksanaan dia tidak keberatan tentang semua itu, malah Mali berterima kasih dan bersyukur karena aku mau menunggunya.
Mali kembali dengan cepat itu merupakan keajaiban yang tidak kusangka-sangka. Tapi di tengah itu semua, ada kerja keras yang patut aku apresiasi terhadapnya. Mali mendapat keringanan hukuman. Pada saat di sana, Mali memutuskan untuk bekerjasama dengan pihak berwajib, untuk mengusut raksasa kehancuran yang tengah mengepung kehidupan dunia ini.