#Egyptology

Mizan Publishing
Chapter #2

Bagian Pertama: Jumatan di Kampung Nubia

Pulau Elephantine, sebuah lokasi yang direkomendasikan untuk disinggahi bila kita mampir di Kota Aswan. Pagi itu, sekitar pukul 11.00 siang waktu Aswan, perahu yang saya tumpangi merapat di bibir Pulau Elephantine. Perahu ini mengantarkan kami menyeberangi Sungai Nil hanya dengan ongkos EGP1 1,5 per orang.

Saat sampai ke seberang, saya langsung disuguhi pemandangan rumah-rumah penduduk yang sangat unik. Dibuat dari tanah liat dan batu bata, juga berbentuk kubus-kubus, dinding rumah-rumah ini dicat dengan warna-warni yang kontras. Ada yang berwarna biru langit, kuning, hijau muda, jingga, dengan ornamen-ornamen gambar bintang atau garis memanjang. Segar sekali kelihatannya.

Saya sempatkan diri berkeliling sebentar di kampung itu. Pepohonan yang rimbun, binatang-binatang ternak yang tenang memamah biak di bawah pepohonan. Benar-benar kampung yang nyaman.

EGP = Egyptian Pound. Sering juga ditulis dengan lambang “LE”. Biasa disebut pound, atau disebut juga dengan geneh.

Tempat selanjutnya yang saya cari adalah masjid karena jarum jam sudah hampir masuk waktu Shalat Jumat. Pulau ini memang tidak begitu besar. Ukurannya hanya 1.200 x 400an meter saja menurut seorang penduduk sehingga masjid pun tak sulit saya temukan. Sebuah masjid tak bernama, tidak seperti kebanyakan masjid di Aswan, Luxor, atau Kairo.

Mungkin karena ini adalah pulau yang masih dihuni oleh 100% penduduk asli, banyak sekali mata yang menatap heran atau penasaran saat saya memasuki masjid. Demikian juga ketika saya mengambil air wudhu, duduk mendengar khutbah, lalu shalat berjamaah. Agak risih memang saat jadi pusat perhatian seperti itu, tapi saya nikmati saja.

Ternyata benar apa yang ditulis dalam buku terbitan National Geographic dan Lonely Planet: penduduk pulau ini sangat ramah. Bagi saya pribadi sebagai seorang Muslim, keramahan dan ketulusan mereka lebih kental lagi setelah saya Shalat Jumat bersama mereka. Selepas shalat, ucapan dan uluran salam saya disambut dengan antusias dan bersahabat. Tentu saja selalu disusul dengan pertanyaan, “Inta minnain?”2 Dan, ketika saya jawab, “Andunisya,” refleks mereka akan berkata, “Ahsannâs!”3

2 “Kamu berasal dari mana?” 3 “Manusia paling baik.”

Adalah ‘Abbas, seorang pria asli Nubia, yang sempat berbincang beberapa menit dengan saya di dalam masjid setelah Shalat Jumat. Saya taksir usianya sudah di atas 65 tahun. Dia seorang arsitek yang sudah pensiun dari pekerjaannya dan menikmati sisa hidupnya di tanah kelahirannya, Pulau Elephantine.

Sungguh saya tak menyangka perbincangan singkat itu memberi saya informasi yang sangat berharga. Rupanya masyarakat Nubia bukan hanya 5.000-an orang yang tinggal di Pulau Elephantine. Populasi orang Nubia juga tersebar di berbagai pulau kecil lain di sepanjang Nil bagian selatan dan di sekitar Bendungan Aswan. Bahkan, Nubia juga menghuni beberapa kawasan di Sudan Utara. Saya pikir ini sangat masuk akal, mengingat Aswan memang wilayah paling selatan Mesir yang berbatasan langsung dengan Sudan.

Lihat selengkapnya